Bagian Pertama: Skena Musik Gunungkidul Tahun 2020-2024

Bagikan ke :
(Doc. @zallatih, Ruas jari 17-06-23)


Membahas skena musik Gunungkidul tentu tidak akan tuntas dalam satu cletukan esai saja. Ia membentang dari zaman Manthous, bahkan lebih lama lagi, sampai saat ini. Untuk mengurutkannya, kita mesti bergelut dengan arsip-arsip yang berlubang layaknya jalan Playen – Gading.

Lubang-lubang sejarah yang penambalanya selamban proses perawatan jalan tersebut, cukup sulit jika dikerjakan dalam satu bentangan proyek. Syukurnya, saat ini pencatatan sudah mulai dilakukan oleh masing-masing warga skena, dalam bentuk foto, video, press rilis, maupun tulisan resepsi.

Upaya ini jauh lebih baik ketimbang masa-masa sebelumnya. Meskipun terkadang, dalam perjalanan menyusuri sejarah, kita masih saja dikagetkan dengan lubang-lubang yang dibiarkan menahun. Lubang yang tak kunjung ditambal ini, saya baca sebagai sebuah bahaya, yang berpotensi melimbungkan motor skena musik Gunungkidul.  

Apabila motor skena sudah limbung, pengendaranya bisa menabrak apa saja, atau minimal oleng tak tau arah. Barangkali, lubang itu muncul akibat tidak meratanya tekstur aspal pencatatan. Atau, bisa juga akibat kurangnya perhitungan tekstur tanah skena, atau, karena hal lain yang belum diketahui bersamaa saat ini. 

Dalam konteks ini, skena saya ibaratkan sebagai tanah, dan aspal/jalan sebagai sebuah pencatatan, sedangkan kita adalah warga yang gugur gunung merawatnya. Sebelum menggelar aspal panjang demi mulusnya perjalanan, bukankah lebih baik jika mengenali tanahnya terlebih dahulu? agar setidaknya tidak memotong gunung ataupun resan yang sudah lebih dulu ada ketimbang “proyek jalan pencatatan” itu mulai dikerjakan.

Tanah skena musik Gunungkidul merupakan cerminan dari tanah Gunungkidul itu sendiri. Topografi tanah Gunungkidul sendiri memiliki 3 penyebutan, yaitu Batur Agung, Ledoksaren, dan Gunung Sewu. Masing-masing wilayah tersebut menurunkan ilmu hidup yang berbeda-beda pula bagi warganya. 

Itu sama halnya dengan tanah skena musik Gunungkidul. Topografi tanah skena musik Gunungkidul tidak hanya terbagi menjadi wilayah band dan gigs saja, tetapi juga wilayah brand, indie label, kolektif, studio musik, media dll. Warga yang hidup di masing-masing wilayah tersebut menurunkan ilmu hidup yang beragam, tetapi berkelindan, mendukung satu sama lain. 

Pencatatan skena musik Gunungkidul sebagai salah satu bentuk perawatan belum banyak diterbitkan di media cetak maupun online. Namun saya yakin, ia masih melekat di ingatan warga. Sehingga, perlu kiranya untuk menubuhkan ingatan warga tersebut, agar setidaknya bisa membuka tabir diskusi dari generasi ke generasi.

Oleh karena itu, sebagai upaya meneruskan semangat penjenengan sedaya yang sudah lebih dulu memulainya ketimbang saya, tulisan ini berupaya menambal lubang-lubang jalan tersebut. Walaupun hanya ditambal pakai tanah atau keprus dulu, wong ya perihal mengaspal jalan itu bagaimana juga saya belum tau caranya. Setidaknya, menurut saya, menambalnya dengan tanah atau keprus itu lebih aman ketimbang hanya dikasih lingkaran putih.

Upaya penambalan yang saya lakukan melalui tulisan ini dimulai sepetak demi sepetak. Petak pertama yaitu skena musik Gunungkidul tahun 2020-2024. Petak 2020-2024 terdiri dari beberapa bagian, di antaranya: gigs, band,  fashion, indie label, studio musik, kolekftif,  dan media.

Masing-masing bagianya ditambal dengan tanah atau keprus yang sebelumnya sudah dikumpulkan oleh warga yang terlibat gugur gunung. Saya hanya bagian ngulungake atau ngepuk-puk saja. Kemudian, pada bagian satu (gigs) ini akan membahas mengenai kemunculan gigs-gigs independen di Gunungkidul dari Agustus 2020 sampai November 2024.

Dipakainya metode pengategorian berdasarkan tahun dan “bagian” pada tulisan ini tidak bermaksud mengurutkan bagian satu lebih penting dari bagian lainnya. Tidak pula menggiring asumsi bahwa gigs menjadi pusat dari lahirnya band, terlebih menjadi pusat skena musik Gunungkidul. Tidak.

Seperti apa yang saya katakan di awal. Skena musik Gunungkidul merupakan sebuah kesatuan dari beberapa wilayah yang menyokongnya. Skena ibarat tanah Gunungkidul, sedangkan gigs, band, brand, indie label, studio musik dan media itu ibarat Batur Agung, Ledoksaren, dan Gunung Sewu. Masing-masing geografis menurunkan ilmu hidup yang berbeda-beda untuk warganya.

Fenomena Skena Musik Gunungkidul

Ini hanya penjelasan sederhana dan singkat. Belakangan ini, gaung lema skena menggemakan dunia maya. Pengertian-pengertianya diidentikan dengan trend fashion dan lokus nongkrong. Seperti misalnya, fenomena orang-orang nongkrong di coffee shop dengan ootd merchandise band, kacamata frame tebal, dan sepatu docmart. Apakah yang begitu anak skena? Yap, tentu saja!

Di Gunungkidul sendiri, khususnya di daerah urban, gaung lema skena mulai terdengar sebelum tahun 2012, bahkan lebih jauh lagi. Namun, karena gugur gunung penambalan lubang ini belum sampai sana, maka lebih baik berangkat dari petak terdekat dulu. Seperti misalnya fenomena penggunaan lema skena sebagai istilah untuk menamai ruang perkumpulan yang disebut “skenan”.

Seingat saya, yang berarti bisa berkembang, istilah skenan mulai digaungkan sejak tahun 2007 sampai 2016 akhir. Pada waktu itu skenan menjadi wadah jejaring pengalaman. Ruang ini diisi dengan aktivitas seperti jagongan, latihan moshing, nonton gigs, hingga sampai melahirkan band/grub baru yang turut menghidupkan belantika musik Gunungkidul.

Beberapa skenan yang kondang waktu itu (2012-2016), di antaranya: SSFH, ASF, S4SC, LF14, BTF, ZBM, SCL, BSSF, GAF dan R33SF. Bukan di Coffee Shop, lokus kumpul skenan pada waktu itu cenderung berada di pinggir jalan. Oleh karena itu, tak jarang ruang ini memakai nama belakang “street family” (SF).

Seperti misalnya S4SC (Simpang 4 Street Colony) yang bermukim di perempatan RSUD Wonosari. ASF (Argosari Street Family) yang semula bermukim di belakang Pasar Argosari, lalu pindah di gang depan SMP 2 Wonosari. Kemudian, Rute 33 Street Family (R33SF), seperti namanya, skenan ini bermukim di jalan Wonosari – Jogja KM 33. Atau lebih tepatnya di gardu perempatan Dusun Bandung.

Kecenderungan berikutnya bisa dilihat dari fashion yang dikenakan. Pada waktu itu, style fashion anak skena cenderung bertema locos, atau hardcore, dengan brand local seperti Diosdela Muertos, Familias, Rilingen Hood, dan lain sebagainya. Meskipun ada pula yang tidak bergaya seperti itu, tetapi minor adanya. Apakah yang begitu anak skena? Yap, tentu saja!

Beberapa contoh skenan di atas hanya bersumber pada kebersaksian saya saja. Dalam arti lain, hanya yang saya cemplungi. Di luar kebersaksian saya, tentu terdapat lebih banyak lagi skenan di Gunungkidul. Misalnya, skenan punk yang bermukim di depan SD 5 Wonosari, dan di depan Kantor Pos Wonosari, pada sekitar tahun 2007. Pengarsipan saya mengenai skenan dari tahun 2007 ke bawah sedang berjalan, dan semoga dapat saya ulangake secepatnya.

Skena musik Gunungkidul pada waktu itu juga disokong oleh wilayah-wilayah lainnya, seperti misalnya wilayah studio: Vandalis, Burgasy, Followtixs, dll. Wilayah fashion: Garage, Clothingan Wonosari, Merchandise Band, dll. Namun, karena fokus tulisan ini adalah petak 2020-2024 bagian gigs, maka alangkah baiknya penjelasan sederhana dan singkat ini dicukupkan dulu.

Mengingatkan kembali, bahwa berkembangnya pengertian mengenai “skena” ini harus kita pandang sebagai perkembangan yang baik dan saling mendukung. Bukan dipandang unggul-unggulan antara masa lalu dan masa kini. Perbedaan-perbedaan permukaan maupun mendasarnya tidak lagi penting dipermasalahkan.

Alih-alih berdebat mengenai mana yang paling skena dan mana si fomo, lebih baik kita berpikir tentang bagaimana kemudian tanah skena ini subur, mampu menumbuhkan berbagai macam tanaman yang mendukung keberlangsungan hidup. Sekaligus gugur gunung merawat atau membangun jalan tanpa merusak kanan kiri. Semoga kita diberkati di tanah skena sendiri. Tos!

Pengategorian Gigs dan Alur Narasi

Sepanjang tahun 2020-2024, Gunungkidul diramaikan oleh banyak sekali gigs musik yang diinisiai oleh warga, pemerintah, maupun sekolah. Akan tetapi yang menjadi data pada tulisan ini adalah gigs dengan etos do-it-together (DIT). Gigs-gigs diluar etos DIT tersebut tetap saya simpan sebagai arsip, namun belum diaktivasi menjadi tulisan.

Mengapa begitu? Bukan berarti memosisikan gigs dari Kundha Kabudayan atau instansi sekolah dan pemerintah itu tidak penting, tidak. Setidaknya menurut saya, sebuah gigs yang lahir dari semangat DIT itu lebih langgeng dan mengakar. Dalam kerja-kerja perawatan jalan yang saya paparkan di bagian pengantar tadi, semangat DIT ini adalah semangat gugur gunung.

Begitulah sederhananya mengenai etos do-it-together (DIT), etos yang kemudian saya sejajarkan dengan etos “gugur gunung” dalam kebudayaan Gunungkidulan. Sebagai Gunungkidulis (Pecinta Gunungkidul), tentu tidak asing dengan istilah gugur gunung. Gugur gunung identik dengan semangat kebersamaan dalam merawat dan membangun desa, atau mencapai tujuan bersama (kolektif). Kerja-kerjanya dilandasi oleh rasa cinta, tanggung jawab, dan rasa handarbeni. Ora dibayar ora papa!

Dengan semangat gugur gunung itu pula, pengumpulan data pada tulisan ini diperoleh dari pengamatan langsung (kebersaksian), wawancara, dan sosial media. Saya hanya bagian sing ngulungake saja. Atau, ibarat menambal lubang jalan, saya hanya bagian ngepuk-puk, yang bisa pula salah ngepuk-puk dan malah menjadi lubang yang baru. Ning ya tak usahake

Data-data tersebut kemudian saya ulungake dalam bentuk tabel dan narasi-narasinan. Di antara tabel-tabel tersebut saya selipkan narasi-narasinan dengan perspektif orang pertama (saya) dan perspektif informan.

Ibarat ngaduk, perspektif informan itu pasir, dan perspektif saya sendiri itu semen, keduanya tak campur nganggo pacul. Mbok menawa ya ora linear kaya tulisan ilmiah wong-wong kuliahan kae, ora nganggo metode lan sak piturute. Ning muga wae tetep enak, ya. Dadi ceritane ngeneki…

Skena 2020: Kematian Mengintai!

Sejak dimulainya libur panjang karena Covid-19 pada tanggal 15 Maret 2020, gigs di Gunungkidul terancam bisu. Meski sebelumnya juga tidak bisa dibilang berisik, tetapi tetap bersuara, klesik-klesik. Pada saat itu, usaha menjelajahi kemungkinan gigs di Gunungkidul bertahan, sama buntunya dengan jalan-jalan desa yang diportal–dan hanya pekik sirine saja yang menerobosnya.

Hingga kemudian, pada bulan Agustus, muncul gerakan kolaborasi yang mendentingkan senyapnya lorong permusikan. Gerakan kolaborasi ini melibatkan beberapa band, di antaranya: Banana Space, Puja Senja, Diksiparanada, Remember Me, dan Acmegora. 

Gerak kolaboratif yang dinamai “Kota Lama Project” ini kemunculannya seperti mitos drum band ghaib di malam yang gelap dan sepi. Ora masuk akal. Bagaimana tidak, mereka justru melantangkan suara di balik mulut yang diberangus masker. Kota Lama Project dengan berani dan nekat, menantang pekik sirine dan lirih kesunyian. Entah apa yang dituju saat itu, yang jelas, kematian diri dan kematian gigs sama mengancamnya. 

Scene video YouTube “Handayani Nyawiji” Kota Lama Project

Bersumber dari video berjudul “Behind The Scene Kota Lama Project” yang diunggah di kanal YouTube Kota Lama Project. Motif lahirnya project ini berawal dari perkumpulan remaja yang memiliki kesamaan hobi walau dengan selera musik yang berbeda-beda. Perkumpulan tersebut kemudian memiliki kerinduan untuk berkolaborasi dengan menyatukan aliran musik masing-masing ke dalam satu lagu. 

“Asal muasal Kota Lama ini dulu iseng-iseng sebenere. Nonton situasi musik di Gunungkidul itu kurang maju, Mas. Band-band lokal itu jarang ada yang mengekspos di Gunungkidul”. Ucap Irham Nurcahyo selaku penanggung jawab

Tanggal Tajuk AcaraPenyelenggaraTempatPamflet
2 Februari 2020Sahitya 10 Balakosa

Outsider & Lady Rose Handayani East Jogjakarta

Gedung Kesenian Wonosari

Sahitya 10 Balakosa
31 Agustus 2020

Launching “Handayani Nyawiji”

Kota Lama Project

Angkringan Mrikiniki

Launching “Handayani Nyawiji”
4 Oktober 2020Launching Album “Metanoia”GetwellsoonAngkringan Mrikiniki

Launching Album “Metanoia”
19 Desember 2020

Suckturday on Party

SuckturdyPasar Pitik Wonosari

Suckturday on Party

Satu bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 4 Oktober 2024, Angkringan Mrikiniki kembali diingar-bingarkan. Kali ini oleh Getwellsoon yang merilis EP pertamanya yang berjudul “Metanoia”. Pada saat itu, munculnya EP ini semakin mengokohkan posisi Getwellsoon di gelanggang permusikan Gunungkidul. 

Getwellsoon Metanoia (Doc. Getwellsoon)

Tidak lama setelah perilisan Metanoia, Getwellsoon merilis video clip berjudul “Tak Sejalan”. Tak sejalan merupakan satu dari empat lagu di EP “Metanoia”. Video clip ini resmi mengudara pada 13 November 2020 di kanal YouTube Getwellsoon Official.

Lalu kemudian, pada tanggal 19 Desember 2020, skena dihentak oleh gemuruh yang berasal dari Pasar Pitik, Kranon, Wonosari. Siapa bakal mengira, bahwa di tahun itu, dalam kondisi ngelangut yang luar biasa, sebuah gigs underground berdendang di pasar pitik? Tidak hanya pemilihan venue saja yang menurut saya gokil, namun juga keseluruhan unsur gigs. Mulai dari tajuk, line up, dekorasi, bahkan insiden pembubaran oleh keamanan setempat. 

Gigs yang bertajuk “Suckturday on Party” itu mengusung line up segar, sebab dimeriahkan oleh band-band pendatang baru yang memberi tawaran sehat bagi skena musik Gunungkidul. Selain itu, sejauh ingatan saya, gigs semacam ini jarang sekali di temukan di Gunungkidul, terutama di tahun 2016-2020 awal. Sayangnya, gigs ini harus dihentikan oleh petugas keamanan sebelum acara benar-benar tuntas.

Skena 2021: Kemunculan The Melting Minds 

Dilansir dari situs infeksimerging.kemkes.go.id, di Daerah Istimewa Yogyakarta, per 31 Januari 2021, sebanyak 494 orang meninggal akibat Covid-19. Lebih gelapnya lagi, di Kabupaten Gunungkidul, terdapat 20 kasus orang meninggal selama bulan Januari tahun 2021. Kian melonjaknya jumlah orang meninggal akibat Covid ini pun berdampak besar pada pemberian izin acara. Hingga ingatan saya mengenai tahun itu pun sama gelapnya dengan kondisi keselamatan yang ada.  

Bagaimana tidak gelap, tahun 2021 dibuka oleh berlakunya aturan PPKM yang  dimulai dari tanggal 11-25 Januari. Kemudian disusul dengan aturan PPKM-Micro pada tanggal 9 Februari. Bising istilah-istilah baru tersebut sangat melemahkan degub jantung gigs. Kematian diri dan kematian gigs saling menyalip.

Harapan dan kesepian pun tumpang tindih. Mendekam di kamar seharian sembari melihat Jerinx SID marah-marah di sosial media pun terasa lebih pantas, ketimbang berjubel di kerumun kekhawatiran. Alhasil, hidup saya di awal tahun 2021 hanyalah perihal drama mikrocip pada vaksin, dan goyang galon madura. 

Tanggal

Tajuk Acara

Penyelenggara

Tempat

Pamflet

21 April 2021

Hearing Session dan Ngobrol Bareng Proses Kreatif “Possessing The Witch”

The Melting Minds

Angkringan Mrikiniki
The Melting Minds

Untungnya, pada awal tahun 2021 The Melting Mind muncul, membawa oksigen bagi skena musik Gunungkidul. Nama yang sangat asing, waktu itu. Dibalik bayang-bayang rasa pesimis perihal kelanggengan band di Gunungkidul, saya menyempatkan datang ke acara hearing session dan ngobrol-ngobrol yang diinisiasi oleh The Melting Minds pada 21 April 2021.

 

Hearing Session Possessing The Witch (Doc. The Melting Mids)

Sebelum acara dimulai, pertanyaan dipikiran saling salip. Kurang lebih mengenai keberlanjutan dari band ini, wacana yang diusung, gaya proses kreatifnya, dan tentu ‘Apa bedanya dengan band-band Gunungkidul yang lain?’. Karena menurut saya, pada waktu itu, ada masalah besar yang harus dirampungkan bersama sebelum berbicara mengenai profesionalitas dan entertaimen. Membicarakan kesejahteraan keluarga dulu, misalnya. 

Namun ternyata, pertanyaan-pertanyaan di pikiran saya dengan sekejap dilibas oleh The Melting Minds dengan taksu-nya. Di awal acara, saya sudah merasa ada yang mendekam di tubuh band double drum tersebut, sesuatu non-material–sesuatu yang entah apa tetapi kuat. Diri saya seperti ditatap tajam oleh matanya. ‘Oh, begitu rupanya’. Saya mendengar “hear” sesuatu yang lain. 

Dengan penuh kepercayaan saya meninggalkan Angkringan Mrikiniki, meninggalkan acara tersebut meski baru saja dimulai. Saya memilih pulang bukan karena tidak suka, tetapi karena rasa kagum dan penasaran saya harus bertahan lebih lama. Sebab, jika saya duduk sampai habis segelas kopi, “sesuatu” yang mendekam di tubuh The Melting Minds itu hanya akan dijelaskan dengan konsep-konsep duniawi yang justru tidak menjawab. 

Usaha saya menjawab “sesuatu” itu tetap belanjut hingga sekarang. Sampai pada tanggal 1 April 2025, saya bertemu Slinkyboness, punggawa The Melting Minds. Pertanyaan demi pertanyaan merenggut setengah malam. Obrolan menjadi sangat panjang. Di tengah riuh Warung HL dalam suasana lebaran, saya menculik fokus dengan pertanyaan.

The Melting Minds muncul di tengah-tengah lonjakan kasus Covid-19. Bagaimana kemudian The Melting Minds ini terbentuk lalu akhirnya menginisiasi acara hearring session?

“Acara tersebut sebenernya suatu bentuk yang mempertegas bahwa memang kita itu dari Wonosari. Karena waktu awal pembentukan itu kan memang idenya dari Wonosari, dari rumahku yang di Kepek itu. Nah, hearing session waktu itu adalah hearing session single kedua The Melting Minds, “Possessing the Witch”. Sebenernya kita sempet hearing session juga, di Mol Coffee. 

Kebetulan juga, yang kedua itu, kita meminta bantuan sama Mas Hesa dan bekerja sama dengan Mas Bagong di Mrikiniki, apakah kita bisa bikin suatu acara hearing session di Wonosari–yang poinya memang kita ingin mempertegas bahwa kita ingin pulang ke Wonosari. 

Ya, tujuan utamanya, aku dan teman-teman pikir waktu itu karena belum ada hearing session. Sebetulnya cukup menarik, kalau aku lihat beberapa hearing seasson di jogja. Karena disitu kita bisa mendengarkan karya secara langsung dari musisinya, dan bisa tanya langsung tentang karyanya, seperti itu. 

Itu kan ada sisi yang bisa menginspirasi temen-temen di Wonosari juga sebenarnya, kalau niat kita di awal. Kita juga mengajak beberapa musisi di Gunungkidul. Kalau ga salah, yang aku ingat itu, kita mengundang Panglima Kumbang, The Half Seasson, dan beberapa lagi aku lupa. Disitu kita membahas “Possesing The Witch” secara mendalam. Secara aspek lirikal dan musikal. Ternyata cukup antusias, terjadi diskusi-diskusi yang menarik antara The Meltig Minds dan temen-temen”. Tutur Slinkyboness. 

Saya menyimpulkan bahwa, hearing session waktu itu menjadi bentuk awarness mereka terhadap karya, sekaligus sebagai pernyataan sikap bahwa The Melting Minds berasal dari Wonosari. Pernyataan sikap mereka pada waktu itu saya baca sebagai awal dari gencarnya ide-ide lokalitas yang selama ini diusung oleh The Melting Minds. 

Tidak berhenti sampai disitu, saya dan Slinkyboness meliuk-liuk di sepanjang jalan kenangan. Tendangan lambung bola pertanyaan sampai pada tahun 2007, awal Slinkyboness mulai merintis band pertamanya “Jeruji Besi”, hingga sampai pada kondisi The Melting Minds terkini (1 April 2025). Tentu panjang sekali jika transkrip obrolan malam itu sepenuhnya diceritakan di sini. Nanti, setelah ini, obrolan itu akan sepenuhnya saya ceritakan di bagian selanjutnya.

Skena 2022: Panaskan Mesin, Nyalakan Api!

Ingatan saya tentang 2021 sama gelapnya dengan perjalanan saya mengarsip. Usaha mengais puing-puing ingatan di tahun itu pun nihil. Beberapa orang yang saya temui pun sama-sama menggelengkan kepala. Skena musik Gunungkidul pada tahun itu menjadi angkatan bahu. Waktu melesat satuh tahun kedepan

Hingga di tahun 2022 volume ampli mentok kanan! Genderang permusikan mulai bergerak. Tahun ini diawali oleh segenap pemuda yang menggelar gigs bertajuk “Panaskan Mesin Vol.1” yang bertempat di Tong kopi, Kranon, Wonosari. 

Sembada dengan namanya, mereka benar-benar memanaskan mesin motor skena musik Gunungkidul. Karena pada 14 Mei 2022, kolektif ini kembali menggaduhkan jantung kesepian dengan gigs bertajuk “Panaskanmesin Walpurgis”. Menariknya adalah, venue gigs ditarik jauh (jika tolak ukurnya kota) sampai ke Pariwisata Klayar, Kapanewon Nglipar.

Panaskanmesin Walpurgis (Doc. Panaskanmesin)

Desentralisasi venue yang digagas oleh Panaskan Mesin  pada waktu itu membuka kemungkinan bahwa sebuah gigs tidak melulu harus bertempat di daerah urban saja. Melainkan juga bisa disaling-silangkan dengan tempat wisata di pedesaan.

Walau sempat hujan di sore harinya, hal itu tidak menyurutkan kedatangan ratusan warga skena. Meskipun keberadaan venue jauh dari pusat kota, ketakutan-ketakutan mengenai jumlah penonton berhasil ditepis oleh mereka. Acara berjalan ramai, lingkaran moshpit memanas, keperkasaan Covid-19 pun dihantam beatwdown, tepat di kepalanya.   

Dalam wawancara saya dengan Dwi Agus Permana Sucipta (Mbah Petir) selaku penanggung jawab acara, saya menanyakan beberapa point penting yang menurut saya perlu diulungake. Pertama, saya menanyakan mengapa Kolektif Panaskan Mesin muncul di sela-sela ancaman Covid 19. 

“Nggih, niku sebuah bentuk penentangan perihal apa yang dirasakan oleh beberapa kelompok. Kami nggih benar-benar merasakan, bahwa covid niku hanya sebuah permainan. Makane, dengan diadakannya gigs itu, itu membuktikan bahwasannya tidak terjadi apa-apa. Walaupun gencar covid tetapi kita buktikan, kita realisasikan lewat kolektif itu, bahwa itu memang benar-benar aman. Tidak ada kendala, tidak ada yang kemudian karena kerumunan jadi kena virus dan menjalar ke beberapa kalangan tertentu, itu ternyata memang tidak”. Jawab Agus, vokalis band Fenom, dan juga kerap dipanggil Mbah Petir. 

Obrolan dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya. Saya bertanya mengenai motif pemilihan Pariwisata Klayar sebagai venue gigs yang mayoritas memainkan band underground tersebut. 

“Niki kaitanya memang karena dari kita sendiri ingin mencoba mengakses lokasi yang memang belum tersentuh dunia seperti itu (gigs undergound). Dan sebenarnya itu bukan akhir dari perjalanan. Itu memang, dari kami dulu, kami ingin memperkenalkan genre-genre musik ke segala penjuru yang ada di Gunungkidul. Tapi, karena komunikasi yang kurang efektif, akhirnya juga berhenti di tengah jalan. Jadi sebenarnya, itu menjadi awal.

Karena saya sendiri orang Nglipar, orang Kedungpoh, dan Klayar itu termasuk bumi Kedungpoh. Saya sendiri juga ingin mengenalkan kepada masyarakat sekitar, bahwasannya genre musik itu memang banyak, dan tidak menutup kemungkinan memang ada dari daerah Nglipar sendiri”.

Sejenak saya tertegun. Sejauh saya mengamati, memang, kerja-kerja kolaboratif antara gigs underground dengan tempat wisata itu jarang terjalin. Padahal, tidak menutup kemungkinan bahwa, wisatawan Gunungkidul, maupun wisatawan dari luar Gunungkidul, adalah penikmat musik underground

Lebih jauh dari itu, sepertinya, kita perlu mengetahui kembali apa arti dari “wisata” itu sendiri. Agar kemudian “wisata” tidak melulu tentang kegiatan di sebuah tempat dengan pemandangan alam yang indah, yang jika dibalik maka, sebuah tempat yang alamnya tidak indah tidak pantas menjadi tempat wisata. 

Jika kita masih saja terkurung oleh pengertian sempit semacam itu, maka sampai kapanpun gigs-gigs underground akan dianggap bukan sebagai sebuah lokus wisata, yang padahal menurut saya, gigs underground juga merupakan lokus wisata, penonton-penontonnya juga pantas disebut wisatawan. Nggih ta?

Setelah tertegun panjang, saya kembali menanyakan satu hal mengenai gigs “Panaskan Mesin Walpurgis” tersebut. Salah satu yang memancing penasaran saya adalah perihal perizinan. Lalu, begini jawaban Agus.

Dulu saya izin lewat kepala desa. Kebetulan saya juga berkomunikasi baik dengan beliau. Jadi, saya ingin mengajak bekerjasama, tentang bagaimana mengenalkan situs-situs yang ada di nglipar tersebut untuk khalayak yang lebih luas lagi. Mungkin, pengenalanya lewat anak-anak muda, karena tidak menutup kemungkinan yang suka dengan dunia-dunia wisata, tempat untuk ngopi yang enak, nyaman, dan asyik–yang bisa bercengkrama dengan alam. 

Jadi begitu Mas, dulu. Kami berkomunikasi dengan kepala desa, kepala desa mengiyakan. Lalu, kami berkomunikasi dengan pihak karangtaruna dan pengelola wisata. Akhirnya, dari pihak pengelola wisata juga memberikan izin, dan membantu untuk keamanan juga. Alhamdulilah, dari pihak karangtaruna dan kepala desa bersedia membantu perizinan, khususnya perizinan di kepolisian.

Kerja sama antara Kolektif, Kepala Desa, Karang Taruna, serta Pengelola Tempat Wisata, seperti yang dilakukan oleh Kolektif Panaskan Mesin, dapat  menjadi contoh baik bagi tumbuh kembang skena musik Gunungkidul. Mengapa begitu? karena menurut saya, dramaturgi “Panaskan Mesin Walpurgis” ini cocok dengan demografis Gunungkidul. 

Gigs tersebut membuka kemungkinan turut terlibatnya UMKM sebagai bagian dari gigs. Seperti misalnya, memungkinkan terlibatnya penjual telur gulung, penjual es, penjual gorengan, hingga bakul plembungan. Venue yang terbuka pun kemudian membuka banyak sisi tonton. Penonton bebas memilih tempat, bahkan di kanan, kiri, dan belakang panggung sekalipun. Bukankah sebagai orang Gunungkidul kita akrab dengan yang seperti itu?

TanggalTajuk Acara

Penyelenggara

TempatPamflet
5 Maret 2022

Panaskan Mesin Vol.1

Panaskan Mesin

Tong Kopi

Panaskan Mesin Vol.1
14 Mei 2022

Panaskan Mesin Walpurgis

Panaskan Mesin

Pariwisata Klayar, Nglipar

Panaskan Mesin Walpurgis
18 Juni 2022

Showcase Vol.1

Ruas Jari Collective

Sinambi Wedangan

Showcase Vol.1
16 Juli 2022

Rekayasa “Grand Opening Djenak Corner”

Djenak Corner

Djenak CornerRekayasa “Grand Opening Djenak Corner”
20 Agustus 2022

Showcase Vol.2

Ruas Jari Collective

Sinambi Wedangan

Showcase Vol.2
4 September 2022Bring Back Our Glory

Relasi Konservasi

Gedung Kesenian Wonosari

Bring Back Our Glory
15 Oktober 2022

Showcase Vol.3

Ruas Jari Collective

Sinambi Wedangan

Showcase Vol.3
16 Desember 2022

Showcase Vol.4

Ruas Jari Collective

Sinambi Wedangan

Showcase Vol.4

Satu bulan kemudian genderang kembali ke perkotaan. Sebuah kolektif bernama Ruas Jari  muncul ke permukaan. Dalam Showcase pertamanya, Ruas Jari menampilkan The Jeblogs sebagai pamungkas, ini menjadi kali pertama band pelantun lagu “Bersandarlah” tersebut manggung ke Gunungkidul. Selain itu, mereka juga menampilkan band Swagetsealoka, sebuah band yang kelak mengubah namanya menjadi Salbatic. 

Kemunculan Ruas Jari di skena musik Gunungkidul memberi tawaran-tawaran baru. Kolektif ini tidak hanya berfokus pada kerja-kerja penciptaan gigs saja, melainkan juga membuka ruang diskusi terbuka perihal permusikan. Seperti yang dikatakan Faturrahman ketika kami berdua wedangan di Dtko, Rabu, 26 Maret 2025.

“Ruas Jari secara umum adalah platform musik, namun kami lebih senang menyebut Ruas Jari menjadi wahana bermain dan belajar. Menjadi platform yang tidak hanya memikirkan soal pertunjukan tetapi bagian-bagian kecil lainnya, seperti adanya kelas kreatif manajemen event, pameran arsip musik dll”.

Menarik, harus disadari bersama bahwa, membangun ekosistem skena yang sehat perlu kiranya turut membuka pula ruang-ruang diskusi terbuka sebagai media belajar. Nanti di bagian selanjutnya, mari membahas tuntas perihal kolektif, sabar nggih. 

Pada tahun 2022, Ruas Jari Collective sukses menggelar empat gigs. Setiap gigs diadakan setiap dua bulan sekali, dan mereka berhasil memfasilitasi berbagai genre musik. Dengan konsep pertunjukan intim yang mengutamakan kerapian, ada alasan di balik keputusan mereka mengadakan gigs setiap dua bulan sekali tersebut.

“Karena pada saat itu kami mempunyai tujuan untuk memantik teman teman yang lain juga ikut turut serta membuat unit-unit kolektif musik yang beragam, dan juga mendorong para musisi baru untuk membuat karya yang  nantinya Gunungkidul soal pergerakan musik akan semakin beragam. Alhamdulilahnya sampai sekarang, banyak sekai pergerakan musik, kolektif, dan musisi-musisi baru yang bermunculan”. Ujar Faturrahman

Lebih lanjut mengenai gigs-gigs gubahan Ruas Jari yang intimate. Dalam suatu kesempatan, saya ngobrol-ngobrol juga dengan Krisna Adi Suryadarma yang pada saat itu aktif membersamai Ruas Jari. Krisna, atau yang juga kerap dipanggil Gendon, memberikan insight menarik mengenai kerja-kerja sound enginer dalam gigs. Krisna yang sehari-hari bekerja sebagai musisi, sound enginer, dan produser musik tersebut menaruh perhatian lebih terhadap tata suara perhelatan.  

“Menurut pandanganku sebagai sound enginer, sound system adalah nadi dari sebuah pertunjukan musik, tata suara sangat berpengaruh untuk merepresentasikan pertunjukan. Selain itu, audio adalah esensi utama dari sebuah pertunjukan. Audio dapat mempengaruhi psikologi pendengarnya, menciptakan suasana dan mampu menyampaikan emosi imajinatif bagi pendengarnya. Menurutku, dalam hal ini “gigs” yang berarti pertunjukan skala kecil atau “seadanya”, audio dapat direpresentasikan dengan alat yang cukup minimalis, namun “minimalis” bukan berarti ngawur, melainkan tetap memperhatikan teknis tata suara, peralatan, dan kualitas audio yang memadahi, agar pesan yang ada dalam pertunjukan musik dapat tersampaikan dengan baik dan nyaman didengarkan.

Teman-teman dapat mengoptimalkan sound system dengan konsep “minimalis” dengan memperhatikan venue atau tempat yang dipergunakan untuk pertunjukan dan konten musiknya. Kalau memang terbatas, maka cukup menggunakan speaker dengan ukuran kecil, apabila dirasa venue’nya cukup luas dan berada di luar ruangan dapat menambahkan sub untuk mendistribusikan frekuensi low. Jadi, boleh bikin “gigs” tapi jangan asal “minimalis” dan “ngawur” harus diperhatikan konten musiknya dan dimana musik itu dimainkan”

Tutur Krisna di hari Sabtu, 30 Maret 2025, ketika saya berbincang mengenai seberapa penting sound dalam sebuah gigs, sejauh mana sound diperhatikan selama ini, lalu bagaimana caranya dengan budget yang minim, sound mampu mendukung kelancaran gigs dan kemaksimalan band. 

Dua minggu setelah “Showcase Vol.1” Ruas Jari, jagad skena diharmoniskan oleh venue legend permusikan Gunungkidul, yaitu Gedung Kesenian Wonosari. Setelah sekian lama tidak mengaum dan setelah sekian lama gedung ini hanya berbunyi catcitcatcit sepatu pemain bulu tangkis, pada 4 September 2022 kembali gagah!

Selebaran pamflet acara yang menempel di dinding-dinding sosial media mengajak warga skena bernostalgia. Selain aktivasi kembali Gedung Kesenian Wonosari, gigs bertajuk “Bring Back Our Glory” ini mengajak kawula skena kembali ke masa kejayaan dengan line-up masalalunya. Band-band yang dulu bising seperti Something Wrong dan Gendar Pecel pun berhasil menghujam dada kenangan.

Bring Back Our Glory Vol.1 (Doc. Relasi Konservasi)

Saya sangat terharu, saya kembali kanak-kanak, sebab terakhir kali moshing di tempat ini masih mengenakan kemeja Caltop Veterano, celana pendek Dickies, dan kacamata Locs. Akhirnya, setelah hampir 7 tahun berlalu, gedung hijau ini kembali memperkasai. Apa yang saya rasakan ini kemudian selaras dengan jawaban Khalpong (Muhammad Hairuman Alviansyah) ketika saya bertanya mengenai motif dibentuknya Relasi Konservasi dan diadakannya gigs “Bring Back Our Glory”. 

“Dibentuknya Relasi Konservasi itu awalnya dari keresahanku, setelah masa covid kan belum ada event yang bergairah lagi. Sedangkan, Wonosari dikenal setiap minggu itu selalu ada event-event musik yang bergengsi. Terus aku pingin membuat gebrakan baru, bikin Relasi Konservasi. Terus aku ngajak Bonor (Adytya Putra Wijaya).

Alasan pertama Bring Back Our Glory ya karena aku pingin membuat gairah musik kembali. Dan masih dengan tema itu. “Bring back our glory” jadi kejayaan musik di Gunungkidul itu pengen tak kembalikan lagi. Mengapa memilih venue di Gedung Kesenian itu, ya, karena Gedung Kesenian itu penuh sejarah. Event-event musik di Gunungkidul ki ya awale banyaknya emang di Gedung Kesenian. Bahkan saat mulai aku SD, udah ramai banget event2 di Gedung Kesenian. Nah, setelah covid aku pingin mengembalikan itu lagi”. 

Begitulah jawaban Khalpong. Di skena musik Gunungkidul sendiri, mobah-mosik drummer Getwellsoon dan Salbatic tersebut tidak main-main

Skena 2023: Variasi Venue Makin Ngebass!

Setelah Relasi Konservasi sukses menggelar satu acara di tahun 2022. Acara mereka yang kedua berlangsung dari 4-5 Maret 2023. Acara tersebut bertajuk “Aliansi Gejolak Kawula Muda”. Menariknya adalah, kedua gigs Relasi Konservasi ini sama-sama mengusung tajuk yang meletup-letup. Diksi-diksi seperti “glory” dan “gejolak” mampu memberi efek ledakan bagi pembacanya. Ini bagus!

Di gigs yang kedua ini, mereka memilih Kalahari Resto sebagai venue. Lebih lama dari gigs mereka sebelumnya, kali ini gigs berlangsung selama dua hari dua panggung. Joglo Kalahari Resto didaulat menjadi panggung band, kemudian halaman belakang menjadi panggung akustik. Panggung depan bernama “Relasi Stage” sedangkan panggung belakang bernama “Konservasi Stage”

Jika melihatnya dari segi teknis, diadakanya dua panggung tersebut mungkin karena gigs ini memainkan berbagai macam genre dengan jumlah pemain sebanyak 22 band/grub. Meskipun dua panggung, namun acara berjalan kondusif. Pertanyaannya, mengapa kemudian gigs ini mengusung konsep seperti itu, apa yang ada di benak penyelenggara? 

“Setelah sukses bikin “Bring Back Our Glory”, akhirnya aku kepingin bikin gigs sik kecil, scopenya lebih kecil daripada Bring Back Our Glory, konsepnya gigs intimate, sik itu bisa mencangkup lebih banyak genre di Gunungkidul. Dan bisa membuat semacam mini gigs festival di Gunungkidul–yang kita bisa menikmati pop, rock, punk, metal, bahkan dangdut dan hipdop pun bisa terafiliasi secara baik”.  Jawab Khalpong. 

Entah apa korelasi antara bulan Maret dengan semangat pertunjuakan, mengapa dalam dua tahun tersebut, gigs sama-sama baru mulai digelar di bulan Maret. Saya tidak tahu pasti, yang  jelas, tahun 2023 skena musik Gunungkidul berpesta ria! terdapat 11 gigs dengan semangat gugur gunung, sukses mendendangkan band-band lokal.

Setidaknya, ada 8 kolektif dengan semangat gugur gunung turut serta membangun skena. Beberapa kolektif baru yang namanya belum pernah muncul di tahun-tahun sebelumnya adalah: Mojo Creator, Membekas GK, dan Primitive Extend. Lalu ada pula kolektif lama yang kemudian berlaga kembali seperti KOMTIS (Komunitas Musik Tanjungsari Tepus) dan Atas Nama Pesta. 

TanggalTajuk Acara

Penyelenggara

Tempat

Pamflet

4-5 Maret 2023

Aliansi Gejolak Kawula Muda

Relasi KonservasiKalahari Resto Wonosari

Aliansi Gejolak Kawula Muda
18 Maret 2023

Setahun Wedangan Bareng

Sinambi

Sinambi Wedangan

Setahun Wedangan Bareng
17-19 April 2023

Gunungkidul Second Fest

Gedung Olahraga Siyono

Gunungkidul Second Fest
30 April 2023

Music Merch Festival Gunungkidul

Ruas Jari Collective

Sinambi Wedangan

Music Merch Festival Gunungkidul
6 Mei 2023

Atas Nama Pesta Vol.5

Atas Nama Pesta

Bumi Watu Obong, GariAtas Nama Pesta Vol.5
17 Juni 2023

Satu Tahun Berjejaring

Ruas Jari CollectiveSinambi Wedangan

Satu Tahun Berjejaring
1 Juli 2023Membekas Vol.1

Membekas GK

Kedungpoh Park, Nglipar

Membekas Vol.1
12 Agustus 2023


Tanpa Pagar

Mojo Creator

Warung HL

Tanpa Pagar
12 Agustus 2023

Komtis #7

Komunitas Musik Tanjungsari Tepus

Banjarejo, Tepus

Komtis #7
14 Oktober 2023

Balas Libas

Jeruji Bastard x Rumah Bamboo Tattoo Family

Kedungpoh Park, Nglipar

Balas Libas
29 Desember 2023

Primitive Extend Vol.1

Primitive Extend

BSD Coffee, Nglipar

Primitive Extend Vol.1

 

Di tahun 2023 ini, semangat desentralisasi venue makin terasa bass-nya. Dalam setahun, Kecamatan Nglipar 3 kali berdentum. Jika di tahun 2022 gigs berada di Pariwisata Nglipar, kali ini giliran Kedungpoh Park yang unjuk skill. 

Tempat wisata yang mengusung konsep view alam, kuliner, taman bermain, dan agropark ini resmi diresmikan pada 1 Mei 2023. Tepat dua bulan kemudian, pada 1 Juli 2023, tempat wisata ini diaktivasi Kolektif Membekas dengan gigs underground.

Lalu, gelora permusikan muncul pula di Desa Banjarejo, Kapanewon Tepus. Setelah sekitar 7 tahun Komunitas Musik Tanjungsari Tepus (KOMTIS) tidak melanjutkan serial gigsnya. Pada 12 Agustus 2023, mereka kembali dengan gigs bertajuk “KOMTIS7: Freedom of Distortion”. Di hari yang sama pula, di Kapanewon Wonosari, tepatnya di Warung HL, kolektif bernama Mojo Creator mendendangkan The Melting Minds, Salbatic, The Half Season, The Kick, dan The Burnbury dalam satu acara bertajuk “Tanpa Pagar

Satu hari itu, rasanya seperti melihat masa depan sekaligus teringat masalalu. Di pusat kota, band-band masa kini bernyanyi lantang, di pesisir selatan pun tak kalah lantang dengan band-band langgeng seperti The Biskoeit dan The Major. Bukan berarti membandingkan, atau mengategorikan, terlebih mengotak-kotakkan, karena “seharusnya” seka musik Gunungkidul itu saling terhubung. 

Skena 2024: Kolaborasi Lintas Disiplin

Tahun 2024 dibuka dengan “Music Merch Day” oleh Ruas Jari Collective. Festival cendera mata musik ini diadakan di 20 kota di Indonesia. Di Gunungkidul sendiri, festival ini pertamakali diperkenalkan kepada warga oleh Ruas Jari Collective pada 30 April 2023 lalu, dan ini kali kedua mereka. 

Music Merch Festival 2023 (Doc. Ruas Jari)

Waktu pertamakali mengenal festival ini, saya turut membawa dua kaos merch dari Study Hard MP dan Slam Harder, serta satu kaos besutan komunitas Monster Jackers Batas Selatan. Bagi saya, festival ini terbukti mampu membuka kembali ingatan warga. Lebih dari itu, menurut saya, adanya festival ini memantik rasa kasih sayang warga terhadap merchandise musik yang mereka punya, agar lebih terawat lagi.

Sebagaimana yang kita tahu, bahwa merchandise adalah tulang punggung ekonomi musisi. Selain itu, merchandise juga menjadi medium arsip yang bersifat persuasif. Sehingga di masa yang akan datang, akan membuka peluang kepada generasi berikutnya untuk menggali sejarah perjalanan band dan desainer.

Sepanjang saya wedangan bersama Faturrahman, selaku bagian dari Ruas Jari Collective, saya bertanya mengenai alasan dibalik semangat mereka mengarsip merchandise musik. 

“Melihat banyaknya Arsip musik yang belum diabadikan, dan musisi-musisi baru yang bermunculan, menjadi salah satu alasan kenapa mengadakan Music Merch Fest di Gunungkidul. Music Merch Fest di Gunungkidul menjadi ruang untuk Belajar arsip musik, dan hearing session karya baru musisi, serta bentuk rasa syukur kita semua karena telah dipertemukan oleh musik”. 

Semangat itu terus mereka jaga, hingga di tahun 2024 acara ini kembali di gelar selama dua hari, dari tanggal 4 sampai 5 Maret. Hari pertama berlangsung hangat dengan ngobrol-ngobrol, dan hearing session lagu-lagu terbaru karya musisi Gunungkidul. 

Hari kedua dilanjut dengan gigs musik yang bertempat di Balai Dusun. Perlu diketahui juga bahwa acara Music Merch Fest 2024 ini dapat panjenengan nikmati berkat kerjasama yang baik antara Ruas Jari Collective dengan Karang Taruna setempat. 

Lalu, di pesisir selatan, setelah pada tahun sebelumnya disemarakan oleh KOMTIS, pada pertengahan tahun 2024 ini, giliran pemuda-pemudi dari Walikangin yang menggelar perhelatan. Sebuah gigs bertajuk “Walikangin Neighborhood” sukses mewadahi talenta-talenta lokal dari Walikangin dan daerah satelitnya.

 

Walikangin Neighborhood 2024 (Doc. Taruntum)

Alberthus Widha yang pada saat itu turut gugur gunung membangun acara, menuturkan bahwa motif awal diadakanya gigs “Walikangin Neighborhood” ini sebagai ruang untuk mewadahi band-band yang berasal dari Walikangin. Karena menurutnya, dari jaman dulu, Walikangin tidak pernah kehabisan band. 

“Dadi sebenere walikangin neighborhoods dimulai pertama 2018, inisiatore Om ku namane Dwi Sermon dan Dwi Susetyo. Mereka kemudian ngajak wong-wong sek seneng musik ning walikangin, salah satune aku dan teman-teman Wakeupkids. Omku kui punya band namane Boobytrap. Nahh acara pertama kui dibentuk sangat sederhana dengan modal iuran 50rb tiap orang. Konsepe yo mung semi akustik.

Tapi kemudian sempet leren suwe karna sempet konflik karo beberapa warga sek ra seneng musik/band. Terus baru mulai lanjut meneh tahun 2023 sampai saat ini. Tapi kemudian inisiatore kui mau saiki wis ora terlibat sebagai panitia, karena wis do ra selo, gek dilanjutke aku ro cah-cah. Setahuku alesane Walikangin Neighborhoods ada kui simpel. Nek jare Om ku, dusun Walikangin sendiri seko jaman biyen ora pernah kehabisan band, dadine setiap generasi pasti ono band “Walikangin” entah kui sampe rilis karya ataupun hanya band studio.

Nek setahuku, sek band walikangin rilis karya ono 3, The Pink Punk, Boobytrap/Trash Crash, Wakeupkids, selain kui ono solois juga. Nahh, tujuan kolektif iki adalah menjaga agar generasi cah band di Walikangin tetep ada sampai besok besok, selain kui yo pengen mengenalkan nek ning Walikangin yo ora gur ono dangdut wae sih njar”.

Pernyataan Widha diatas sangat mengetuk hati. Bisa dirasakan bagaimana semangat nguri-uri itu. Gigs yang mereka bangun tidak hanya sebagai sebuah hiburan saja, melainkan sebagai jantung musik dusun. 

Tanggal Tajuk Acara
PenyelenggaraTempatPamflet
4-5 Mei 2024Music Merch Day, Ruas Jari 2 Tahun saling/silang

Ruas Jari Collective

Narapuspitan Library and Space



Ruas Jari Collective
4 Mei 2024

Face 2 Face #2

PMDA Skateboarding

Skate Park Wonosari



PMDA Skateboarding
14 Juni 2024

Asikni Vol.2

Equilibrium Art Space

Taman Budaya Gunungkidul


Equilibrium Art Space
15 Juni 2024

Primitive Extend Vol.2

Primitive ExtendBumi Watu Obong


Primitive Extend
30 Juni 2024

Walikangin Neighborhood

Negara Ngalikangin

Ngajar, Walingaking, Tanjungsari


Negara Ngalikangin
12 Juli 2024

Asikni Vol.3

Equilibrium Art Space

Taman Budaya Gunungkidul


Equilibrium Art Space
13 Juli 2024

Sabostage Vol.1

Sabostage

Bumi Watu Obong

Sabostage
19 Juli 2024

Asikni Vol.4

Equilibrium Art SpaceTaman Budaya Gunungkidul


Equilibrium Art Space
28 September 2024

Balas Libas Vol.2

Rumah Bamboo Tattoo Family

Wisata Punthuk Kepuh, Nglipar.

Rumah Bamboo Tattoo Family
25 Oktober 2024

Primitive Extend Vol.3

Primitive Extend

Bumi Watu Obong, Nglipar


Primitive Extend
16 November 2024

Membekas Vol.2

Membekas GK

GOR Siyono


Membekas GK

Di tahun 2024 ini pula, muncul gigs yang tak kalah menarik, sebab menawarkan wacana segar bagi skena musik Gunungkidul. Equilibrium Art Space dengan programnya yang bertajuk “Asikni: Apresiasi Musik dan Seni” mendobrak kemungkinan-kemungkinan estetika pertunjukan. Khususnya dalam mengolaborasi musisi dengan seniman rupa, wayang, dance, teater dll. 

Band Mata Surya berkolaborasi dengan Perupa (Doc. Asikni)

Berbeda dengan gigs-gigs lainnya yang memilih tempat diluar kawasan intansi pemerintah, Equilibrium Art Space menempati Taman Budaya Gunungkidul sebagai ruang kreatif, sekaligus mengaktivasi perlatan musik milik Kundha Kabudayan yang dirasa selama ini tidak dimanfaatkan maksimal. 

Wasis Tanata, selaku Program Director, mengungkapkan bahwa lahirnya Equilibrium Art Space sebagai respon atas keluh kesah teman-teman musisi yang dirasa kurang mendapat ruang secara adil di Taman Budaya Gunungkidul. Ia menyimpulkan bahwa performer di acara Kundha Kabudayan itu kurang bervariasi, itu-itu saja. Lebih jelasnya sebagai berikut. 

“Berawal dari kegelisahan kami yang melihat “alat” yang dimana itu merupakan fasilitas untuk publik, yang berada di Taman Budaya Gunungkidul. Alat itu sudah seyogyanya bisa diakses oleh publik. Nah, akhirnya ini bisa berguna sesuai dengan esensinya. Kami mencoba ngobrol dengan Dinas Kebudayaan Gunungkidul dan Taman Budaya Gunungkidul. Ketika kami mengetahui adanya fasilitas itu, kami berpikir bagaimana kemudian fasilitas tersebut bisa diakses oleh teman-teman. 

Aku mendengarkan keluh kesah dari temen-temen yang tidak mendapatkan ruang secara adil di Taman Budaya Gunungkidul. Karena kebanyakan yang main itu-itu saja. Nah, ini lumayan menggelitik. Kemudian itu menjadi wacana kami, sehingga kami bisa membentuk stigma yang lebih baik. Makanya kami mencoba untuk menjadi penyambung, sehingga akhirnya bisa terwujud. Dengan adanya “Asikni” fasilitas yang ada di Taman Budaya Gunungkidul bisa diakses oleh publik. Terutama oleh temen-temen band yang belum/jarang mendapatkan kesempatan bermain di Taman Budaya Gunungkidul” 

Begitulah ungkap Wasis Tanata, ketika pada suatu sore yang hujan menemui saya di Warung HL, Jumat, 28 Maret 2025. 

“Ini hanya semata-mata untuk laboratorium kecil. Karena ketika seni satu dengan yang lain dibenturkan dalam satu waktu dan satu ruang, saya yakin akan mengalami benturan yang menarik secara artistik. Karena pasti akan ada kebingungan baik dari kolaborator maupun musisi. Tetapi kebingungan itu justru menjadi hal yang kami amati, sehingga nanti bisa merangsang kreatifitas lebih, dalam mengkreasi bentuk seni pertunjukan khususnya. Dalam hal ini, objeknya adalah band-bandan. Jadi, tidak menutup kemungkinan seniman bisa mengakses banyak disiplin seni dalam live perfomnya. Agar secara live lebih terasa, dan touchnya ke publik porsinya lebih besar”.

Imbuh Wasis Tanata ketika saya bertanya mengenai motif wacana laboratorium transdisiplinya. 

Sepanjang tahun 2024 tercatat, sebanyak 8 pertunjukan dilibas mereka. Equilibrium Art Space bersama Asikni, berhasil meleburkan band dengan seniman dari berbagai disiplin, di antaranya adalah: Waludeng, Juang Perkasa, Reno Artga, Eri Saktiawan, Edi Black, Yessica Nova, dan Nia Novitasari.

Semangat “menghubungkan” yang diusung oleh mereka mengingatkan saya dengan semangat-semangat seni tradisional, seperti misalnya Wayang Purwa. Sebagai Gunungkidulis, tubuh dan jiwa saya lebih bisa menerima bentuk-bentuk pertunjukan transdisipliner. Wacana semacam ini sebenarnya sudah dipikirkan oleh nenek moyang kita sejak dulu. 

Bahkan tidak hanya menghubungkan antar manusia saja. Beberapa seni pertunjukan tradisional dipercayai sebagai ruang penghubung antara manusia dan others atau liyan. Keterhubungan tersebut hadir bersamaan dengan rasa syukur, rasa ngrumangsani, berserah diri, dan lain sebagainya. 

Dalam konteks ini, yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa pada momen seperti itu, seniman bergerak dengan laku syukur dan ngrumangsani. Memposisikan dirinya hanyalah sebagian kecil dari agungnya jagad. Bukan sebagai sosok yang mesti dipuja-puja dan diidolakan. 

Menuju Tujuan, Menuju Sang Diri 

Mengacu pada data di atas, setidaknya terdapat 34 gigs gugur gunung sepanjang Agustus 2020 sampai November 2024. Hampir sebulan sekali gemuruh gigs berpusat di berbagai macam tempat, tidak hanya di kota saja. Hal itu menunjukan perkembangan yang baik bagi skena musik Gunungkidul. Ditambah lagi, berdasarkan data yang saya peroleh, setidaknya, seminimal-minimalnya, terdapat 30 band baru yang muncul selama 4 tahun ini. 

Masifnya kemunculan band-band tersebut menambah warna yang ada, dan yang terpenting adalah, gejolak ini memantik pergerakan motor skena. Kini tinggal bagaimana motor skena tersebut melaju di jalan yang mulus, hingga sampai ke tujuannya. Tapi tujuanya kemana?

Seperti halnya kehadiran diri di acara-acara seperti rasulan. Kehadiran diri di skena musik Gunungkidul mestilah dengan kesadaran syukur dan ngrumangsani. Bukan hadir sebagai idola yang haus dipuja-puja. Mbok menawa, jika kita “sebagai warga skena” dan sebagai Gunungkidulis, melihat jauh ke dalam diri, tujuan tersebut perlahan tampak. 

Bukankah tujuan yang seolah-olah jaraknya sangat jauh, sebenarnya sangat dekat, ada di dalam diri kita sendiri. Ibarat musik adalah bernafas, ia mesti keluar masuk agar diri tetap hidup. Mbok menawa, keluar sebagai ungkapan rasa syukur, dan masuk sebagai laku ngrumangsani. 

Perjalanan motor skena secara fisik memungkinkan kita menjelajahi dunia yang luas. Mendapat ketenaran, kekayaan, hingga termahsyur. Perjalanan motor skena secara batin akan membawa kita jauh ke dalam diri, dan di dalam diri kita yang sebenarnya terdapat dunia “jagad” yang tidak terhingga. Keduanya mesti berimbang

Saya utang rasa ke panjenengan sedaya yang memiliki kesadaran merawat Gunungkidul sebagai “diri”. Merawat Gunungkidul yang juga berarti merawat segala yang tumbuh di tanahnya. Yang dalam arti sebenarnya, kita saling merawat, kita pun selalu dirawat oleh alam Gunungkidul itu sendiri. 

Dalam proses perjalanan itu, kita akan melihat berbagai macam warna. Seperti halnya yang diajarkan oleh nenek moyang, perihal banyaknya diri dalam tubuh, diri kita yang beraneka-warna. Begitu pula dengan alam Gunungkidul dan skena musik Gunungkidul yang maneka-warna pula. Keberagaman yang saling mendukung, yang satu keutuhan. Di sanalah tujuan. 

Mbok menawa, untuk sampai ke sana, permasalahan unggul-unggulan tidak lagi penting. Dalam laku ngrumangsani, penjelajahan diri, bukankah kita akan sampai pada penerimaan diri kita yang lain? lalu setelah proses penerimaan itu, sampailah kita pada sang “pancer”Ya, sangkan paraning dumadi.

Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, simbah-simbah kita selalu mengejawantahkan sangkan paraning dumadi. Agar kelak anak cucunya tidak hilang arah. Agar anak cucunya mengenal dirinya sendiri. Diri sendiri yang maneka-warna dan rukun. Diri kita sendiri yang Gunungkidulan. 

Apabila laku gugur gunung kita selama ini diniatkan sebagai laku sangkan paraning dumadi, saya yakin, pasti kita akan sampai ke tujuan itu. Dan yang tak kalah dekat, kita akan sampai pada gigs yang aman bagi perempuan, aman dari copet, serta aman bagi penyandang disabilitas. 

Gigs Aman dan Nyaman untuk Perempuan 

Bagian pertama ini saya pungkasi dengan pertanyaan-pertanyaan saya kepada Khoirunnisa Dyah Astusti dan kutipan zine karya Gracellyn Stella Fany, selaku perempuan yang turut gugur gunung membangun skena musik Gunungkidul melalui tulisan-tulisannya. 

Nisa, Bagaimana kamu melihat gigs di Gunungkidul, dari kenyamanan dan keamanan untuk perempuan? 

“Sejauh ini, gigs di Gunungkidul menurutku sudah cukup nyaman dan aman bagi perempuan, terutama karena komunitas musiknya cenderung suportif dan saling menjaga. Banyak venue yang memiliki atmosfer ramah, dengan “pencahayaan” yang cukup dan akses yang aman. Penyelenggara semakin sadar akan pentingnya keamanan, sehingga ada upaya untuk memastikan lingkungan tetap kondusif, seperti kehadiran panitia yang sigap membantu jika ada kendala”.  

Sebagai perempuan, apa yang kamu harapkan kedepannya bagi perkembangan gigs di Gunungkidul? 

“Harapan kedepannya, semoga gigs semakin berkembang dengan memperbanyak ruang bagi perempuan, baik sebagai musisi, panitia, maupun audiens yang merasa nyaman datang tanpa rasa khawatir. Selain itu, harapannya, semoga ada lebih banyak gigs yang mendukung keberagaman genre dan komunitas, sehingga semakin banyak orang bisa menikmati dan merasa diterima”.  

Sejauh mana gigs mengubah/membantu hidupmu?

“Gigs banyak membantuku sih, jujur relasiku lebih luas karena aku suka datang ke gigs. aku juga belajar dan bertemu banyak orang dengan insight baru. Aku juga jadi belajar banyak hal baru, dan lebih aktif menulis lagi setelah sebelumnya berhenti cukup lama. Jadi, keberadaanku di gigs beberapa waktu terakhir menurutku berdampak banyak”.

Mengapa ruang aman bagi perempuan perlu disuarakan? mengutip dari zine berjudul “Ruang Aman Bagi Perempuan di Hingar Bingar Pertunjukan” yang ditulis oleh Gracellyn Stella Fany, dan diterbitkan oleh Ruas Jari Collective. Grace menuturkan. 

“Diskriminasi gender menjadi salah satu masalah serius di negara-negara dengan budaya patriarki, termasuk Indonesia. Perempuan seringkali mengalami perlakuan kurang menyenangkan, terutama dalam pertunjukan musik seperti konser atau gigs. Ini merupakan perhatian serius yang dapat meninggalkan bekas dan trauma bagi perempuan. Oleh karena itu, penting untuk menyediakan ruang aman dan nyaman agar perempuan dapat bebas berekspresi tanpa rasa takut akan pelecehat seksual serta intimidasi.

Dengan adanya ruang aman, perempuan merasa lebih dihargai, didukung, dan memiliki kesempatan yang setara tanpa merasa tertekan dan terabaikan. Selain itu, pada setiap pertunjukan musik, perlu adanya himbauan dan peraturan khusus terkait pelecehan seksual untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan kawan perempuan.

Nggih, ceritanya begitu. Nyuwun agunging samudra pangaksami, jika tulisan ini terlalu pendek dan kurang lengkap, atau justu malah sama sekali tidak menambal lubang-lubang jalan tersebut. Semoga, laku gugur gunung ini menjadi pintu selamat dan kebahagiaan untuk panjenengan sedaya. Matur nuwun, sampai jumpa di bagian kedua. Utang rasa!


Dian Anjar Nugroho
Lahir dan tinggal di Gunungkidul. Gemar menulis hampir-puisi dan esai. Ia bergerak di media Geknjo.co, kolektif pertunjukan Karangdunyo, dan ruang Konjungsi.
Oleh : Dian Anjar Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *