

Seperti halnya terhadap “agama”, banyak keluarga Jawa di Gunungkidul memuliakan benda pusaka seperti dhuwung (keris), pedang, tombak, dsb. sebagai “ageman” (pakaian) bagi dirinya. Semua wujud “ageman” diyakini merupakan citraan atau fotokopian perangai pemakainya. Bisa dikatakan, batas antara Sang Diri dan Ageman sangat kabur. Keduanya saling menguatkan dan menggantikan satu sama lain. “Ageman” menjelma ‘busana kebesaran’ dalam laku Sang Diri berdialog dan bersatu dengan Sang Maha Suci.

Agama agem(an)ing aji: salah satu makna “agama” adalah memakai gerak dan akal terus menerus; agama merupakan ‘agêman’ (busana) bagi manusia yang selalu berusaha menghormati dan memuliakan ‘aji’ (nilai) apapun. Agama mengajarkan bahwa ‘titah’ atau ciptaan apapun memiliki ‘aji’ (nilai, bobot, energi, rohani,….) dalam dirinya. Manusia mencoba mendekat sedekat-dekatnya pada aneka ciptaan beserta nilainya.
Dalam hubungan ‘tripodal’ dengan yang Ilahi atau yang Spiritual, ‘agêman’ sejajar dengan manusia pemakainya. ‘Ageman’ bisa dikatakan sebagai sebuah penghadiran tubuh dan ‘aji’ atau nilai manusianya. Sebaliknya, manusia bisa hadir, atau mengada, oleh ketubuhan dan ‘ajian’ dalam ‘agêman’ (busana). Ada rasa bangga, aman, bahagia, tenang, percaya diri, kokoh-kuat,… kala manusia mengenakan “agêman”. Menghormati dan memuliakan ‘agêman’ (tubuh dan nilai) sama dengan menghormati dan memuliakan pencipta atau empunya.

Jamas itu karamas, keramas, atau kujamas: mandi. Jamasan adalah perihal “ngeramasi” (mengeramasi) atau “ngujamasi” (memandikan). Jamasan “ageman” hal yang dikeramasi-dimandikan adalah apa-apa yang digolongkan pakaian, termasuk pusaka. Pusaka merupakan benda totemik yang dimuliakan karena diyakini menyimpan energi, spirit, langö (keindahan), juga romantisme sangkan paran manusia.

Kala jamasan berlangsung, ligan-pusaka ditelanjangkan dari “warangka”nya (pakaiannya), dibersihan dari kotoran yang menempel di tubuhnya dengan daya biokimiawi fermentasi air kelapa, jeruk, nanas, dan pace. Diluruhkan keraknya dengan abu atau tetanah. Bila sebuah pusaka disejajarkan dengan tubuh-ruh manusia, maka jamasan adalah disucikannya manusia dari kotoran yang menempel pada tubuh-ruhnya. Dengan demikian, jamasan tak lain peleburan dan penyucian “wilahan” (bilah-keris) bersama “warangka”nya (wadahnya), keluarga manusia bersama ‘ageman’nya. Jamasan dilaksanakan pada sebuah waktu-suci, di sebuah sumber air suci, dengan air-sumur “banyukarti”.
Waktu itu, jamasan dilaksanakan di Sumur Gandhok (Sumur Lanang dan Sumur Wadon) Papringan Plembutan Playen, berikutnya di Kebon Sor Sawo (milik Mbah Sunya: sesepuh Papringan). Laku jamasan, pertama, “ngawu”, yakni penjamas membersihkan wilahan pusaka dari minyak dengan “awu” (abu) dan detergen, kedua, “methak”, yakni penjamas membersihkan ‘teyeng’/karat pusaka dengan fermentasi ‘banyu degan’, pace, nanas, dan jeruk nipis, dan ketiga, “minyaki”, yakni penjamas mengoleskan minyak kelapa dan biang parfum.


Meskipun terdengar “bléro” (tak selaras dengan titian nada), para penjamas tetap melantunkan pujian Sekar Macapat (Pocung) sebelum jamasan terlaksana. Niatnya, agar mancêr (memusat), agar “luwar saka sakit sukêr” (terhindar dari kesakitan dan kekotoran). Pasca jamasan usai, para penjamas “lungguh kupeng” (duduk melingkar), melingkari dan mendoakan ubarampe mong-mong jamasan.
Semoga keselamatan dan kebahagiaan melingkupi setiap ciptaan!
Tembang Pocung
Sumapala saking lêbeting tyas ingsun,
Mong-mong pamongira,
Têmbang Pocung tandhaning sih,
sanadyana kurang rasa lan prayoga.
(Sajian) sederhana dari kedalaman hati saya,
Menjaga para penjaga (bagi semua) yang ada,
(lewat) Tembang Pocung sebagai tanda cinta
Meskipun kurang enak dan baik.
Jamas iku adus kramas kang satuhu,
Nirmala jinangka,
Galih-rasa dèn-cêkêli,
Sakabèhé nyêngkuyung pramaning janma.
Jamas itu mandi-keramas sesungguhnya,
Kesucian hendak digapai,
Hati dan rasa dijadikan pegangan,
Semuanya mendukung bersihnya manusia.
Juru kramas patrap solahé kadulu,
Ngujamasi katga,
Tumbak pedhang astra sarwi,
Pagawéné nyugaha sarta nyumana.
Juru keramas perilakunya tampak,
Membersihkan keris,
Tombak pedang dan segala senjata,
Pekerjaannya membersihkan dan menyucikan.
Ana jarwa angrukti ageman iku,
ngêrèh gunakaya,
masuh manah dimèn bêcik,
rukti-rumat anggayuh eninging rasa.
Ada sabda (bagaimana) merawat pakaian/pusaka itu,
Mengupayakan nilai gunanya,
Membasuh hati agar bagus (bentuknya),
Merawat (pakaian/busana itu) untuk menggapai ketenangan rasa.
Lamun sira anjamasi ligan dhuwung,
kakum banyu klapa,
pace nanas jeruk nunggil,
ngluruh ngruntuh talutuh lêtuh durmala.
Bila kamu itu juru bengkel yang sesungguhnya,
Direndam dalam air kelapa,
Pace nanas jeruk menyatu,
Meluruh-meruntuhkan kekotoran-keburukan.
Mêkatêna puja pamujining ulun,
Manjinga ing prana,
Ngèlmi jamas prapta nuli,
Gya lumiring manggih basuki niyata.
Begitulah doa-harapan saya (kita semua),
Semoga melekat-menyatu di pusat hati (manusia dan jagadraya)
Ilmu ‘membersihkan diri’ segera datang menjelang,
Pulang menemukan keselamatan yang sungguh.
Ngèlmu luhung tinuturna wongsal-wangsul,
Wangkingan lan wrangka,
para ligan kang umulih,
yayah-rêna paring kamulyan sanyata.
Ilmu luhur tuturkanlah berulang kali,
Isi/keris dan wadahnya,
Manusia/pengetahuan yang pulang,
Ayah-ibu (langit-bumi) memberi kemuliaan sejati.
Rah-hayu!

Seorang yang menyukai kebudayaan tani namun tak bisa melakoni.
Oleh: Parinem