Arsip: Warta Eksistensi PKI di Gunungkidul

Arsip: Warta Eksistensi PKI di Gunungkidul

Bagikan ke :

Perburuan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan seluruh organisasi massa yang ideologinya terafiliasi dengan PKI oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1965 hingga 1971 membawa konsekuensi yang teramat berat buat Gunungkidul.

Wajah Gunungkidul yang memang sudah disiksa habis-habisan oleh bumi yang tak subur, rawan penyakit, hama tanaman dan ternak datang tak henti-henti, kian lumpuh lantaran “hama ideologi” yang tiba-tiba melumpuhkan seluruh daya.

“PKI” itu adalah hama ideologi yang (di)cipta(kan) sesudah September 1956. Sebelumnya, “PKI” adalah sesuatu yang inheren dalam kehidupan masyarakat tani di Gunungkidul. “PKI” adalah sesuatu yang natural, sesuatu yang biasa saja. Keberterimaan atas “PKI”, seperti keberterimaan tanah liat Gunungkidul atas padi tadah hujan hasil teknik seleksi laboratorium Jagus di Klaten.

Baca kliping Mingguan Ekspres edisi 18 Februari 1972. Tahun ini adalah tahun-tahun akhir perburuan dan pengganyangan “hama ideologi” bernama “PKI”. 

Kejaksaan Agung di Jakarta, demikian kliping Ekspres ini menulis, digagas sebuah operasi yang diberi nama PHO. Letjen Soegiharto, militer aktif yang memimpin Kejaksaan Agung menjelaskan PHO itu singkatan dari P=”Perut”, H=”Hati”, dan O=”Otak”. 

Operasi PHO diyakini pemerintah dengan sungguh-sungguh merupakan cara-cara yang sangat tepat untuk memberantas kelaparan, mempertebal keyakinan beragama, dan meningkatkan kecerdasan masyarakat.

Singkat kalimat, khusus untuk “P”, sang jenderal dari Kejaksaan Agung itu menyebut Gunungkidul sebagai contoh yang tidak hanya tepat, tetapi presisi. Saya kutipkan secara verbatim paragraf Ekspres, 18 Februari 1972:

“Operasi Perut dimaksudkan bahwa bila rakjat ‘kenjang’ maka sukar baginja untuk menganut mengunjah adjaran-adjaran komunis. Seperti halnja didaerah Gunung Kidul jang hampir 100 prosen masjarakatnja menganut paham komunisme”.

Saya perlu garis bawahi, menyebut Gunungkidul dan komunisme pada kalender setelah 1965 bukanlah suatu kebanggaan, tetapi aib. Bukan hanya aib biasa. Sebab, menuding telunjuk komunisme kepada suatu daerah atau kelompok atau individu, itu sama halnya mengarahkan senjata pembunuh dan mengakhiri nasib si daerah, si masyarakat, dan si individu.

Di mata orde militer, Gunungkidul adalah objek yang terus-menerus dibantu dengan segala cara agar mereka tidak lapar.

PKI tidak seperti itu melihat Gunungkidul. Problem kelaparan di Gunungkidul, misalnya, diupayakan bagaimana masyarakat tani di Gunungkidul jangan menanam padi seperti petani-petani umumnya yang bersawah basah.

Karena itu, BTI yang terafiliasi dengan PKI menciptakan jenis padi yang memang cocok untuk bumi Handayani, sebutan sayang buat Gunungkidul.

Itulah sebabnya, Gunungkidul jatuh cinta kepada PKI karena soal-soal seperti ini. PKI memeluk dengan dekat dan erat sekali “masyarakat yang kelaparan” itu dengan menuntunnya lewat kerja dan propaganda.

Data dan statistik dari “cinta” itu memang membenarkan apa yang dikatakan Letjen Soegiharto dari Kejaksaan Agung itu. Gunungkidul nyaris sepenuhnya komunis itu tergambar dari angka pemilu 1955. PKI merajai daerah Playen, Pathok, Tepus, Semanu, Karangmojo, Nglipar, Wonosari, Paliyan, dan Ponjong.

Tetapi, soal kemenangan-kemenangan yang membanggakan dari PKI di Daerah Istimewa Yogyakarta ini, Gunungkidul tidaklah sendirian. Ada Kota Yogyakarta. Khususnya, Kecamatan Keraton. 

Di sinilah pertanyaan bisa diajukan. Kalau betul untuk membereskan “komunisme” haruslah menyelesaikan “Operasi Perut”, sebagaimana dipikirkan jenderal aktif di Kejaksaan agung Letjen Soegiharto, bagaimana dengan Keraton Yogyakarta.

Dalam soal kemenangan PKI di DIY, jika kita berkaca pada Pemilu 1955, Paliyan di Gunungkidul itu sama dengan Keraton di Kota Yogyakarta; Ponjong itu sama dengan Keraton; Semanu itu sama dengan Keraton, Ngawen itu enggak ada bedanya dengan Keraton; Tepus, Patuk, Playen sepenarian dengan Keraton.

PKI atau komunisme, pada akhirnya tidak selalu identik dengan kemelaratan, kemiskinan yang hakiki, serta beragam sebutan yang jika itu dimaksudkan sebagai tudingan aib sosial. Komunisme atau PKI juga bisa subur di kawasan di mana para raja, pangeran, abdi dalem hidup secara tenang tanpa perlu cemas kalau-kalau busung lapar menyerang.

Saya menutup esai-arsip ringkas ini dengan dua berita kecil di Harian Rakjat.

Berita pertama bertitimangsa 15 Januari 1960. Walau kecil dan terjepit, berita Gunungkidul berjudul “Pemboran tanah GUNUNG KIDUL” ini ditempatkan di halaman satu.

“Usaha untuk mendapatkan air didaerah Gunungkidul dengan mengebor tanah dalam tahun ini akan dilandjutkan dan untuk keperluan tsb. kini sedang dimintakan biajanja kepada pemerintah pusat.
“Pengeboran tanah telah dimulai sedjak setahun jl dan telah berhasil menaikkan air dari dalam tanah jang dalamnja lk. 60 meter dari permukaan bumi didesa Kemadang, beberapa km dari pantai selatan Gunungkidu. Pengeboran ini dilakukan disatu tempat, mengingat biaja jang sangat terbatas, sedang tiap2 pengeboran makan biaja tidak kurang Rp. 200.000.”Menurut rentjana pengeboran akan dilakukan di 17 tempat didaerah Gunungkidul.”

Yang berikut ini adalah berita kedua, tanpa judul, bertitimangsa 1 Februari 1965, halaman dua, Harian Rakjat:

“Anak tjabang Gerwani Semin dan Ngeken baru2 ini telah menjelenggarakan penjampaian hasil2 Seminar Wanita Rumahtangga Djakarta jang diikuti oleh lebih dari 600 anggota dan pentjinta Gerwani setempat.”

Foto dari Muhidin M. Dahlan
Foto dari Muhidin M. Dahlan

Saya ulangi lagi ujung kalimat berita itu: pentjinta Gerwani setempat. Itu. ****

Oleh : Muhidin M. Dahlan
Dokumentator partikelir, bolak-balik Bantul-Gunungkidul
Editor: Sintas Mahardika

Muhidin M. Dahlan
Muhidin M. Dahlan

Muhidin M. Dahlan

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *