Ngupakara: Relasi Emosional di Sekitar Kandang

Ngupakara: Relasi Emosional di Sekitar Kandang

Bagikan ke :

Alam memengaruhi arah gerak kebudayaan manusia, begitupun sebaliknya. Alam menurunkan kehidupan, dan segala yang hidup itu sakral. Hubungan yang berkelindan antara tumbuhan, hewan dan manusia bisa dicermati melalui kebudayaan ngupakara (merawat) terutama ngombor. Ngombor (ng+kombor) adalah aktivitas memberikan pakan kambing cair atau semi cair kepada hewan ternak. 

Ngombor hanya satu pengetahuan dari kompleksnya ilmu ngupakara, tetapi turunan nilainya menjadi banyak sekali. Misalnya, dari tanaman menjadi komboran, komboran membuat ternak cepat gemuk, ternak yang gemuk itu pun berak, lalu tercetus spesifikasi penamaan kotoran, kotoran kambing dinamakan srinthil dan kotoran sapi dinamakan lèthong. Srinthil dan lèthong kemudian dimanfaatkan menjadi pupuk organik yang tidak merusak tanah, dan tanah yang sehat menumbuhkan tanaman yang berkah, lalu manusia mengunduh woh-nya. Ya, mengunduh woh kesehatan dan keberkahan itu yang utama.

Woh (buah) dari menyejahterakaan hewan ternak juga memendar ke pohon ekonomi tempat amongtani (petani) menyandarkan punggung. Hewan yang gemuk turut membantu amongtani menghembus nafas panjang ketika menghadapi acara-acara têpa slira, seperti: layat, njagong, tilik, atau iuran sewa truk ketika hendak berangkat majelisan. 

Têpa slira: menempatkan diri dengan perasaan. Ilmu pengetahuan lokal ini mesti dipegang teguh. Tidak hanya untuk menjaga hubungan baik antar manusia saja, tetapi juga antar makhluk hidup. Bahkan juga antar banyak diri dalam tubuhnya. 

Implementasi têpa slira dalam kebudayaan ngupakara bisa dilihat ketika kebutuhan akan pakan ternak menuntut masyarakat untuk turut memperdulikan keanekaragaman tumbuhan di ladang. Sehingga, tidak hanya padi saja yang ditanam. Dalam arti lain, tidak hanya mengolah tanah demi kepentingan manusia saja. 

Ketika musim tanam, selain tandur dan uwur padi, amongtani juga menanam rumput gajah, pohon turi, dan kalanjana di galêngan (pematang). Tumbuhan yang beraneka ragam tentu baik untuk kesuburan tanah, hewan dan manusia itu sendiri. 

Definisi ngupakara tidak melulu antroposentris, dengan manusia sebagai pusatnya. Karena manusia dan seisi jagad itu saling ngupakara, merawat. Mungkin saja, ketika dilihat dari perspektif jagad gêdhé (makrokosmos), apa yang selama ini dilakukan manusia sebagai “merawat alam dan peliharaan” itu sebenarnya tidak merawat sama sekali, justru sebaliknya, alam dan peliharaan yang merawat manusia. Selalu banyak kemungkinan lain, dunia di luar dunia yang manusia definisikan hari ini. Untuk sampai ke sana, kana kaé, sebaiknya berangkat dari yang dekat, agar kemudian lekat dan bertumbuh.  

Ngombor

Sebagai upaya menjaga kesehatan dan meningkatkan bobot hewan ternak, masyarakat Padukuhan Tungu, Desa Grogol, Kapanewon Paliyan, Kabupaten Gunungkidul (rumah saya) rutin memberikan “komboran” atau yang dalam bahasa Indonesia ditulis “comboran” pada pagi dan sore hari. Komboran yang bentuknya menyerupai bubur dibuat dari berbagai bahan alami seperti jantung pisang, batang pohon pepaya, dedaunan, sukun, dan bahan-bahan alami lainnya. Semua bahan ini dipotong kecil-kecil, kemudian direbus hingga teksturnya berubah menyerupai bubur, sehingga mudah dikonsumsi oleh ternak. 

Berdasarkan wawancara saya dengan tetangga, ilmu per-kombor-an (resep dan tata cara mengolah) dipelajari secara turun temurun dari kakek buyut mereka. Dalam arti lain, ilmu pengetahuan lokal (perspektif tetangga saya) masih dijaga secara turun temurun dan terbukti menyiasati kelit kelindan permasalahan ternak, seperti misalnya masalah hewan ternak yang tidak nafsu makan hingga menyebabkan hewan ternak kekurangan berat badan. 

Pembuatan komboran biasanya dimulai sejak siang hari. Persiapannya diawali dengan mencari bahan-bahan di pekarangan rumah yang ditumbuhi beraneka tanaman seperti: pohon pisang, sukun, pepaya, bayam dan banyak lainnya. Di lingkungan saya, mayoritas pekarangan rumah masih tergolong luas. Tolak ukur luasnya adalah, pekarangan masih bisa ditanami jagung atau kacang tanah, atau contoh lainnya adalah ketika ada hajat menikahkan anak, warga tidak perlu menyewa gedung. 

Bagi masyarakat tetangga saya yang pekarangannya terbatas, biasanya mencari bahan komboran tambahan ke ladang atau kebun sekitar. Dengan kearifan lokal ini, kebutuhan pakan alami hewan ternak dapat terpenuhi dengan biaya yang terjangkau. Selain itu, kebutuhan têpa slira juga terpenuhi. 

Kebudayaan ngombor ini tidak hanya mencerminkan pola hidup mandiri warga, tetapi juga memberikan manfaat ekologis karena memanfaatkan sumber daya alami yang ada di sekitar lingkungan. Dengan kombinasi bahan-bahan alami yang kaya nutrisi, komboran menjadi solusi pakan ternak yang sehat dan ekonomis.

Selain bersumber langsung dari pohonnya, masyarakat juga memanfaatkan limbah alami seperti kulit pisang rebus kemarin, kulit singkong, atau batang pohon pepaya dan batang pisang (gêdêbok) segar yang tumbang. Alih-alih membiarkannya membusuk, masyarakat menyulapnya menjadi makanan ternak yang bernutrisi. Yummy!

Selain hijau-hijauan, masyarakat memanfaatkan blêndhèt sebagai bahan campuran. blêndhèt memiliki bentuk yang menyerupai tepung, namun bukan tepung yang dibuat dengan cara ditumbuk atau digiling memakai mesin. Asal mula terciptanya blêndhét berawal dari singkong kering (gaplèk) yang lama didiamkan di dalam karung secara natural digerogoti oleh kutu, masyarakat menyebut kutu tersebut dengan istilah “bubuk”. Kemudian, ketela kering (gaplèk) yang digerogoti bubuk tersebut berubah bentuk, dari yang semula berwujud gaplèk menjadi berwujud tepung. Blêndhèt diaduk bersama campuran yang lain seperti misalnya bekatul.

Meskipun terkesan semua tumbuhan bisa dijadikan bahan komboran, tapi ternyata ada satu daun yang paling dihindari, yaitu daun ketela. 

“Isa mêndêm nèk nganggo godhong téla, nèk mèh nganggo godhong tèla ya paling ora téla jepang” tutur Mukirah, budhe saya.

Komboran ditumpangkan di atas tungku sedari maghrib sampai tengah malam. Durasi kematangan komboran ditentukan oleh tekstur tanaman yang diolah. Jika tekstur tanahnya keras, seperti misalnya batang pohon pepaya, maka kematangan komboran akan lebih lama ketimbang komboran yang hanya terdiri dari dedaunan, blêndhèt, dan bekatul. 

Mayoritas masyarakat Desa Grogol memasak komboran menggunakan tungku dan kayu bakar. Durasi memasak yang lama akan sangat merugikan jika menggunakan kompor gas. Apalagi saat ide ini ditulis konflik gas di indonesia sedang ramai. 

Komboran yang sudah matang kemudian dituangkan ke dalam ember, jumlahnya embernya mengikuti jumlah hewan ternak. Besar kecilnya ember, banyak atau sedikitnya porsi komboran dalam ember, disesuaikan oleh umur hewan ternaknya. 

Gula Jawa sebagai Pengganti Susu

Sebelumnya mohon maaf jika tiba-tiba narasi meluber kemana-mana, karena permasalahan kandang itu penuh dengan kejutan. Misalnya saja, ketika saya sedang menulis esai ini, kambing saya tiba-tiba melahirkan, padahal ini pukul setengah empat pagi. Ide yang semula hanya ingin membahas komboran terpaksa crat-crot ke lain hal. 

Ning ya piyé, yang punya rumah (wêdhus) sedang berbahagia atas kelahiran anaknya, ya kali saya tidak memberitakannya ke sampéyan. Ini juga kebudayaan. Soalnya, momen bapak saya makjênggirat terbangun dari tidurnya dan langsung berlari ke kandang itu sangat performatif. Dalam situasi seperti ini, yang ada dipikirannya hanyalah keselamatan anak dan babu, urusan midak têlèk dan nyampar pagêr itu belakangan.

Pertolongan pertama setelah cempe berhasil dilahirkan adalah membuat minuman dari gula jawa untuk si babon. Mengapa begitu, kata bapak saya karena babon yang yang baru saja melahirkan membutuhkan asupan karbohidrat agar tenaganya kembali pulih. 

Ini hanya sebagai upaya saja, karena saya juga curiga, tanpa pertolongan manusia pun si Manis (nama kambing babon saya) punya keilmuannya sendiri agar proses melahirkan Bule (nama cempe saya) lancar. Tetapi sebagai makhkluk yang hidup berdampingan di satu pekarangan, sudah sewajibnya saling membantu, ya kan.

Relasi Emosional antara Hewan dan Manusia 

Wêdhus lan sapi iku wêwilangané kéwan rajakaya (Kambing dan sapi itu disebut hewan rajakaya). “Rajakaya” istilah spesifik untuk hewan ternak berkaki empat dan berbadan besar.  Selain sebagai upaya nyambung laku (bertahan hidup) laku ngupakara ternak juga disikapi sama gematinya seperti orang tua (manusia) merawat anaknya. 

Oleh karena itu, ikatan emosional antara manusia dan hewan awoh (berbuah). woh perkawinan emosional antara manusia dan hewan ini kemudian menempatkan budaya ngupakara tidak hanya sebagai laku bertahan hidup wangsa manusia saja. Bukan sekadar hubungan dingin di mana wangsa manusia memiliki hak penuh dalam memanfaatkan yang bukan wangsa manusia: jagad raya seisinya.

Lir gumanti, hewan dan manusia bergantian saling menolong. Seperti halnya lakon “Bima Bungkus” dalam cerita Mahabarata, Wayang Purwa. Lakon ini memberi pelajaran bahwa asal usul manusia terlahir di dunia berkelit kelindan dengan kekuatan di luar kekuatan manusia itu sendiri. 

Dimulai dari bagaimana Kunthi dan Bathara Bayu saling merumuskan. Kemudian oleh karena rumusannya, Bima lahir dalam keadaan terbungkus. Bungkus yang tidak dapat dipecah oleh manusia, bahkan saudara Bima yang digdaya sekalipun.

Lalu siapa sangka, seekor hewan “Gajah Sena” yang justru bisa membantu sang Bima itu benar-benar lahir (pecah bungkus). Dan bahkan karenanya Bima kemudian dikenal sebagai Bimasena. 

Gading Gajah Sena yang patah karena menolong Bima itu kemudian mewujud Kuku Pancanaka. Pusaka pamungkas Bima (Bimasena, Bratasena, Werkudara). Pusaka yang Bima peroleh dari pengorbanan seekor Gajah, yang tidak dikenal oleh Bima, terlebih diupakara olehnya.

Relasi emosional antara hewan dan manusia juga dapat ditemukan di ingatan kita (kita= manusia). Ingatan sewaktu bendera menjadi seragam (SD). Pada masa itu, ibu-bapak guru mengajarkan kita mencintai hewan melalui dongeng Si Kancil. Oleh karena dongeng itu, entah mengapa satu kelas menjadi dekat dengan kancil. Wis dadi kanca dhewe.

Gara-gara teman saya Si Kancil itu, saya ngêdrèl minta pergi ke Gembira Loka. Waktu saya kecil, Gembira Loka masih ramai sekali, membuat ingatan tumpang tindih, bingung, yang saya lihat waktu itu kancil atau rusa. Untungnya, sewaktu SMA, saya punya teman (manusia) yang panggilannya Kancil, jadi saya langsung bisa membedakan, kalau rusa adalah yang lebih menawan dari Kancil. 

Kedekatan saya dengan hewan seperti popcorn yang meletup-letup. Membuat saya lebih suka ngecengin temen saya pakai ceng-cengan bermetafor hewan, seperti:

Mulihan kaya dara

Omonganmu kaya wêlut, ora isa dicêkêl. 

Iwak têri iwak paus, sorry ora ngurus

Dua tiga ayam goreng, sing maca kaya cèlèng.

 

Editor: Sintas Mahardika

Bagong Gugat
Kretekus dan tenaga luwes.
Oleh: Bagong Gugat

Bagong Gugat
Kretekus dan tenaga luwes.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *