‘Nasionalisasi’ Nama-nama Wilayah di Gunungkidul

‘Nasionalisasi’ Nama-nama Wilayah di Gunungkidul

Bagikan ke :

Tansah angudia bener lan pener, leres lan laras!

[Pepatah Jawa]

Penulisan Wonosari dan Wanasari serta Karangmojo dan Karangmaja dengan Aksara Jawa

Saya mengira Panjenengan telah tahu, penulisan nama-nama wilayah di Kabupaten Gunungkidul Provinsi DI Yogyakarta sering menggunakan ‘bahasa Jawa yang di-bahasaIndonesia-kan’, persis seperti nama-nama wilayah lain di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bila dilihat menggunakan sudut pandang linguistik (fonologi dan morfologi), nama-nama wilayah di Gunungkidul berakar pada tembung (kata) bahasa Jawa. Secara politik nasional ‘bangsa Indonesia’, tata cara penulisannya berdasar kaidah bahasa Indonesia, yaitu sesuai dengan tatacara pengucapannya di bahasa Indonesia bukan perujukan pada aturan aksara dan bahasa Jawa sebagai yang digolongkan ‘bahasa daerah’ atau ‘bahasa lokal’. Misal, nama wilayah sebuah kapanewon (baca: kecamatan) di Gunungkidul, yakni “Wonosari”, merupakan gabungan dua tembung (kata) atau morfem yang berasal dari lingga (kata/bentuk dasar): {wana} dan {sari}, bukan {wono} dan {sari} seperti adanya kini. {Wanasari} atau {wana} dan {sari} termasuk golongan kata “saroja”, yakni dua kata yang digabung hingga memunculkan makna baru. Kata {wana} cara pengucapan atau transkripsi fonetiknya adalah [wɔnɔ], serupa bunyi /o/ di konteks bahasa Indonesia, bermakna ‘hutan’ atau ‘alas’ atau ‘tegalan’. Kata {sari} cara pengucapan atau transkripsi fonetiknya adalah [sari], bermakna ‘indah’ atau ‘nyaman’. Dengan demikian, penulisan nama-nama wilayah di Gunungkidul seperti {wanasari} dengan {wonosari} ini berada di antara benar dan salah. Mengapa? Karena nama-nama wilayah di Gunungkidul berbasis sistematika bahasa bangsa Jawa, pengekspresiannya menggunakan sistematika bahasa ‘bangsa Indonesia’ yang umum diyakini lebih nasionalis.

Penulisan Wonosari dan Wanasari dengan Aksara Jawa
Perubahan Nama Gathak Menjadi Gatak

Saya mengajak Panjenengan menengok bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional ‘bangsa Indonesia’ terlebih dulu, yang di dalam dirinya (bahasa Indonesia itu) terdapat ‘nasionalisasi’ bahasa-bahasa milik bangsa-bangsa se-Nusantara, termasuk ‘bahasa daerah’ bahasa Jawa yang dimiliki bangsa Jawa. Kata nation, sepadan dengan wangsa di bahasa Jawa, persis dengan bangsa di bahasa Indonesia. Panjenengan juga tahu, bahwa cara pengucapan fonem /w/ dan /b/ berdekatan sehingga di beberapa momentum kedua fonem ini saling menggantikan, untuk tak mengatakan bahwa fonem /w/ di bahasa asal/Jawa digantikan fonem /b/ di bahasa Indonesia. Begitu halnya /w/ dan /b/ pada {purwa} dan {purba}. Sebelum dinasionalkan, bangsa Jawa sudah menggunakan bahasa dan aksaranya sendiri, merujuk pada Aksara Carakan Jawa yang lumrah disebut Aksara Hanacaraka. Aksara Carakan Jawa yang berjumlah 20 (plus aksara Rekan) semuanya hadir bersama dengan suara vokal /ɔ/ yang tertulis /a/: /ha/ ([hɔ]), /na/ ([nɔ]), /ca/ ([cɔ]), /ra/ ([rɔ]), /ka/ ([kɔ]), dan seterusnya. Aksara Jawa bersuara. Suara /ɔ/ di sistematika aksara Jawa ini sama dengan suara /ɔ/ pada kata {gorong-gorong} [gɔrɔŋ- gɔrɔŋ] di bahasa Indonesia. Setelah kata-kata yang dimiliki bangsa Jawa dinasionalkan dengan cara diserap atau diadaptasi, maka beberapa di antaranya mengalami perubahan bentuk penulisan karena disesuaikan dengan cara pengucapan ‘bahasa nasional bahasa Indonesia milik bangsa Indonesia’ atau ‘Melayu’. Yang paling sering mengalami perubahan bentuk adalah kata-kata yang memiliki vokalisasi /a/ dan tersuarakan /ɔ/ seperti {wanasari} — {wonosari} itu tadi. Bahkan, hampir semua kata yang didalamnya memiliki vokalisasi /a/ dan tersuarakan /ɔ/ dituliskan /o/. Beberapa fonem lain seperti /b/ dituliskan /p/, /dh/ dituliskan /d/, serta /th/ dituliskan /t/, padahal masing-masing berbeda. Di konteks lokal Gunungkidul yang berpedoman pada aksara dan bahasa Jawa, Panjenengan sangat memahami bila masing-masing fonem tersebut keberadaannya mampu membedakan arti atau makna.

Perubahan Nama Rongkob Menjadi Rongkop
Penulisan Gedangsari dan Gedhangsari dengan Aksara Jawa

Nasionalisasi bahasa Indonesia terhadap bahasa Jawa sebagai ‘bahasa daerah/lokal’ banyak terwujud pada nama-nama wilayah atau nama diri. Sementara itu nama-nama wilayah atau nama diri merupakan identitas diri, atau penanda asal-usul atau mulabuka kebangsaan wangsa (bangsa). Artinya, penasionalisasian fonem, kata, maupun gabungan kata bahasa Jawa sebagai identitas dan nama diri bangsa Jawa sangat mungkin membelok dan memutus asal-usul atau mulabuka ilmu pengetahuan masyarakatnya.

Bagaimana tidak. Saya mengulang nasionalisasi penulisan nama Kapanewon {Wonosari} {Wanasari} [wɔnɔsari] di atas dengan menyocokkannya pada Bausastra Jawa (Kamus Bahasa Jawa). Lingga {wono} tidak termaktub dalam Bausastra Jawa manapun, siapapun penghimpun kamusnya. Sementara lingga {wana} ditemukan di dalam bausastra Jawa, misal oleh Poerwadarminta (1939), bermakna “alas” atau hutan, atau dalam Kawi Lexicon (1980) diterangkan bahwa {wana} merupakan golongan kata Sansekerta yang bermakna “forest, wood, jungle”. Tidakditemukannya lingga atau kata dasar {wono} dalam Bausastra Jawa menimbulkan persoalan, bahwa ia tak bermakna, bahwa ia bukan sebagai varian dan derivasi {wana}, meskipun yang dimaksudkan kita yakin adalah {wana}. Tatkala bangsa Jawa menuliskan nama dirinya itu: {wonosari} dalam aksara Jawa, muncul kebingungan: menggunakan aksara Wa Nglegena atau aksara Wa dengan sandhangan taling tarung? Program penulisan aksara Jawa oleh ‘pemerintah’ terhadap nama instani atau lembaga pemerintah pada ujungnya juga ambigu, seperti penulisan {wonosari}, {karangmojo}, {girisuba}, dan sebagainya. Jika menggunakan taling tarung sesuai dengan tulisannya maka {wonosari} akan menjadi tak bermakna. Dan sebaliknya. Pada prakteknya, penulisan Latin tetap menggunakan /o/, sementara penulisan aksara Jawanya menggunakan /a/. Kontras. Tidak linier.

Penulisan Nama Kapanewon Karangmojo yang Tidak Selaras dengan Aksara Jawanya
Penulisan Wonontoro bukan Wanantara

Sebelum lebih jauh, mari, saya mengajak Panjenengan melihati kembali penulisan nama kapanewon, kalurahan, dan dusun yang ada di tiga kapanewon sebagai representasi tiga zona kewilayahan Gunungkidul (Ledhoksari, Batur Agung Utara, Gunung Sewu) dalam dalam Bahasa Asal/Jawa dan Bahasa Nasional/ Indonesia di 3 tabel berikut ini!

1. Kapanewon/Kecamatan Wonosari/Wanasari (Zona Ledhoksari)

Nama Kalurahan/Desa
Nama dalam Bahasa Asal/Jawa
Nama dalam Bahasa Nasional/ Indonesia
Nama Dusun/ Padukuhan dalam
Bahasa
Asal/Jawa
Nama Dusun/ Padukuhan
dalam Bahasa Nasional/ Indonesia
Perubahan Bentuk
WonosariWanasariWonosari/a/ jadi /o/
MadusariMadusari
RinginsariRinginsari
PurbasariPurbosari/a/ jadi /o/
GadhungsariGadungsari/dh/ jadi /d/
PandhansariPandansari/dh/ jadi /d/
TawarsariTawarsari-
JeruksariJeruksari-
MadusariMadusari-
KepekKepekKepek
Trimulya ITrimulyo I/a/ jadi /o/
Trimulya IITrimulyo II/a/ jadi /o/
SumbermulyaSumbermulyo/a/ jadi /o/
BansariBansari-
TegalmulyaTegalmulyo/a/ jadi /o/
KranonKranon-
Kepek IKepek I-
Kepek IIKepek II-
SumbermulyaSumbermulyo/a/ jadi /o/
JerukJeruk
LedhoksariLedoksari/dh/ jadi /d/
PiyamanPiyamanPiyaman
Ngerboh INgerboh I-
Ngerboh IINgerboh II-
Kemerasari KidulKemerosari Kidul/a/ jadi /o/
Kemerasari LorKemerosari Lor/a/ jadi /o/
Piyaman KulonPiyaman Kulon-
Piyaman WetanPiyaman Wetan-
Pakel JalukPakel Jaluk-
NgemplakNgemplak-
PakelrejaPakelrejo/a/ jadi /o/
Budhegan KidulBudegan Kidul/dh/ jadi /d/
Budhegan LorBudegan Lor/dh/ jadi /d/
GariGariGari-
NgijorejaNgijorejo/a/ jadi /o/
KalidhadhapKalidadap/dh/ jadi /d/
JatirejaJatirejo/a/ jadi /o/
GathakGatak/th/ jadi /t/
GondhangrejaGondangrejo/dh/ jadi /d/;
/a/ jadi /o/
GariGari-
GelungGelung-
NgelorejaNgelorejo/a/ jadi /o/
TegalrejaTegalrejo/a/ jadi /o/
KarangtengahKarangtengahKarangtengah
Karangtengah IKarangtengah I-
Karangtengah IIKarangtengah II-
Karangtengah IIIKarangtengah III-
DhuwetrejaDuwetrejo/dh/ jadi /d/;
/a/ jadi /o/
KelorKelor-
Kedhung IKedung I/dh/ jadi /d/
Kedhung IIKedung II/dh/ jadi /d/
Kajar IKajar I-
Kajar IIKajar II-
Kajar IIIKajar III-
SelangSelangSelang
Selang ISelang I-
Selang IISelang II-
Selang IIISelang III
Selang IVSelang IV
Selang VSelang V
MokolMokol
Randhukuning IRandukuning I/dh/ jadi /d/
Randhukuning IIRandukuning II/dh/ jadi /d/
Randhukuning IIIRandukuning III/dh/ jadi /d/
BaleharjoBaleharjaBaleharjo/a/ jadi /o/
PurwasariPurwosari/a/ jadi /o/
Mulyasari
Mulyosari/a/ jadi /o/
WukirsariWukirsari-
RejasariRejosari/a/ jadi /o/

GedhangsariGedangsari/dh/ jadi /d/

SiramanSiramanSiraman
Siraman ISiraman I-
Siraman IISiraman II-
Siraman IIISiraman III-
BesariBesari-
WinongWinong-
SenengSeneng-
PulutanPulutanPulutan
SeminrejaSeminrejo/a/ jadi /o/
GlodhoganGlodogan/dh/ jadi /d/
NgaliyanNgaliyan
WalikanWalikan
ButuhButuh
TemuTemu
KarangasemKarangasem
PraonPraon
WarengWarengWareng
Wareng IWareng I-
Wareng IIWareng II-
Wareng IIIWareng III-
Wareng IVWareng IV-
Singkar ISingkar I-
Singkar IISingkar II-
DuwetDhuwetDuwet/dh/ jadi /d/
DhuwetDuwet/dh/ jadi /d/

GondhangGondang/dh/ jadi /d/
JagalayaJagoloyo/a/ jadi /o/
Dhunggubah IDunggubah I/dh/ jadi /d/
Dhunggubah IIDunggubah II/dh/ jadi /d/
JambeJambe-
Mulo

Mula

Mulo/a/ jadi /o/
KepilKepil-
MulaMulo/a/ jadi /o/
KarangasemKarangasem-
WunungWunungWunungKawalKawal-
WunungWunung-
TeguhanTeguhan-
Soka ISoko I/a/ jadi /o
Soka II
Soko II
/a/ jadi /o
KarangrejekKarangrejekKarangrejek-
KarangrejekKarangrejek

-
BlimbingBlimbing-
Karanggumuk I

Karanggumuk I

-

Karanggumuk II


Karanggumuk II

-
Karangdhuwet IKarangduwet I/dh/ jadi /d/
Karangdhuwet IIKarangduwet II/dh/ jadi /d/
KarangsariKarangsari-

2. Kapanewon/Kecamatan Nglipar (Zona Batur Agung Utara)

Nama Kalurahan/
Desa
Nama dalam Bahasa Asal/Jawa

Nama dalam Bahasa Asal/Jawa

Nama Dusun/ Padukuhan dalam
Bahasa
Asal/Jawa
Nama Dusun/ Padukuhan
dalam Bahasa Nasional/ Indonesia
Perubahan Bentuk
Natah

NatahNatah-
BlembemanBlembeman

-
Ngeloreja

Ngelorejo/a/ jadi /o/

Natah Kulon

Natah Kulon

-
Natah Wetan

Natah Wetan

-
NgadirejaNgadirejo

/a/ jadi /o/

Pringamba

Pringombo

/a/ jadi /o/

Pilangrejo

Pilangreja

Pilangrejo/a/ jadi /o/

Pilangreja

Pilangrejo/a/ jadi /o/

Dhungsuru

Dungsuru/dh/ jadi /d/
Wotgalih

Wotgalih-
Ngangkruk
Ngangkruk-
Dhanyangan

Danyangan/dh/ jadi /d/

Kaligedhe

Kaligede

/dh/ jadi /d/

SritenSriten

-
Kedungpoh

KedhungpohKedungpoh

/dh/ jadi /d/

Kedhungpoh Lor

Kedungpoh Lor

/dh/ jadi /d/

Kedhungpoh KidulKedungpoh Kidul

/dh/ jadi /d/

Kedhungpoh TengahKedungpoh Tengah

/dh/ jadi /d/

Kedhungpoh Kulon

Kedungpoh Kulon/dh/ jadi /d/

SinomSinom-
Gaja

Gojo

/a/ jadi /o/

NglorogNglorog-
MajasariMojosari

/a/ jadi /o/

KlayarKlayar-
Gentungan

Gentungan-
Pengkol

Pengkol
Pengkol
-
PengkolPengkol-
GebangGebang-
Wungureja

Wungurejo/a/ jadi /o/

GegerGeger-
GaganGagan-
KebonjeroKebonjero-
KarangsariKarangsari

-
PagutanPagutan-
GlompongGlompong-
KedhokplasaKedokploso/dh/ jadi /d/;
/a/ jadi /o/
Kedungkeris

Kedhungkeris

Kedungkeris

/dh/ jadi /d/

Kwarasan Wetan

Kwarasan Wetan

-
Kwarasan Tengah

Kwarasan Tengah

-
Kwarasan Kulon

Kwarasan Kulon

-
Kedhungkeris

Kedungkeris

/dh/ jadi /d/

Pringsurat

Pringsurat

-
Sendhawa Lor

Sendowo Lor

/dh/ jadi /d/;
/a/ jadi /o/

Sendhawa Kidul

Sendowo Kidul

/dh/ jadi /d/;
/a/ jadi /o/
NgliparNgliparNglipar-
SumberejaSumberejo

/a/ jadi /o/

Mengger

Mengger-
Nglipar Lor

Nglipar Lor

-
Nglipar Kidul

Nglipar Kidul

-
Ngaliyan

Ngaliyan

-
Kedhungranti

Kedungranti/dh/ jadi /d/

KatonganKatonganKatongan
NgrandhuNgrandu

/dh/ jadi /d/

KepuhsariKepuhsari-
NglebakNglebak

-
KlegungKlegung

-
JeruklegiJeruklegi-
PerbutanPerbutan-

3. Kapanewon/Kecamatan Tanjungsari (Zona Gunung Sewu)

Nama Kalurahan/
Desa
Nama dalam Bahasa Asal/JawaNama dalam Bahasa Nasional/ IndonesiaNama Dusun/ Padukuhan dalam
Bahasa
Asal/Jawa
Nama Dusun/ Padukuhan
dalam Bahasa Nasional/ Indonesia
Perubahan Bentuk
Hargosari

HargasariHargosari/a/ jadi /o/

Candhisari

Candisari/dh/ jadi /d/
TimunsariTimunsari-
MajasariMojosari/a/ jadi /o/

JambuJambu

-
JrakahJrakah-
Klepu

Klepu-
Gadhuhan

Gaduhan/dh/ jadi /d/

KetosKetos-
PakelPakel-
Kemiri

KemiriKemiri
Dhayakan I

Dayakan I

/dh/ jadi /d/

Dhayakan II

Dayakan /dh/ jadi /d/

GuyanganGuyangan-
KarangnangkaKarangnongko

/a/ jadi /o/

GlagahGlagah-
KemiriKemiri-
GebangGebang-
BarengBareng

-
PanggangPanggang

-
NgasemNgasem-
WatesWates-
KemadangKemadang

Kemadang

Kelor Lor

-
Kelor Kidul

-
KanigaraKanigoro/a/ jadi /o/

KayubimaKayubimo/a/ jadi /o/
TenggangTenggang
NgeloNgelo
PucungPucung
NglaosNglaos
NgasemNgasem
Karang Lor I

Karang Lor I

Karang Lor II

Karang Lor II

SuruSuru
Kemadang

Kemadang

Watubelah

Watubelah

SumuranSumuran
Ngalang-alang

Ngalang-alang

NgepungNgepung
BanjarejoBanjareja

Banjarejo

/a/ jadi /o
Jarah IJarah I
Jarah IIJarah II
Jarah IIIJarah III
JambuJambu
Sangen ISangen I
Sangen IISangen II
Keruk IKeruk I
Keruk IIKeruk II
Keruk IIIKeruk III
Keruk IVKeruk IV
Klepu IKlepu I
Klepu IIKlepu II
WeruWeru
NgepohNgepoh
KunangKunang
PadanganPadangan
SariSari
WuluhWuluh
MelikanMelikan
Wanasaba IWonosobo I/a/ jadi /o/

Wanasaba IIWonosobo II/a/ jadi /o/

WanasriWonosri/a/ jadi /o/

NgestirejoNgestireja

Ngestirejo

/a/ jadi /o/
MricaMrico/a/ jadi /o/
JatenJaten-
KudhuKudu/dh/ jadi /d/
KerjaKerjo/a/ jadi /o/
Gathak IGatak I/th/ jadi /t/
Gathak IIGatak II/th/ jadi /t/
WalikanginWalikangin-
Brana IBrono I/a/ jadi /o/
Brana IIBrono II/a/ jadi /o/
Mendhang IMendang I/dh/ jadi /d/
Mendhang IIMendang II/dh/ jadi /d/
Mendhang IIIMendang III/dh/ jadi /d/
CabeanCabean

Maaf, tabel yang memaparkan perubahan penulisan nama kapanewon, kalurahan, dan dusun di Gunungkidul dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia di 15 kapanewon lain tidak saya sertakan pada tulisan ini. Saya khawatir terlalu panjang dan menjemukan buat Panjenengan. Panjenengan bisa melanjutkannya sendiri. Namun jumlah seluruhnya untuk sementara bisa Panjenengan lihat di bawah ini.

NO

Kapanewon/


Kecamatan



Nama
Kapanewon, Kalurahan, dan Dusun yang Mengalami Perubahan Bentuk Penulisan
dari Bahasa Jawa


ke
Bahasa Indonesia


1

/a/
jadi /o/



/b/
jadi /p/



/dh/
jadi /d/



/th/
jadi /t/


2

Wonosari



26



-



22



1


3

Nglipar



12



-



15



-


4

Tanjungsari



14



-



8



2


5

Playen



21



-



9



2


6

Patuk



7



-



4



2


7

Paliyan



12



-



8



1


8

Panggang



3



-



8



-


9

Tepus



12



-



10



-


10

Semanu



17



-



9



-


11

Karangmojo



19



-



17



3


12

Ponjong



34



-



12



5


13

Rongkop



15



2



11



1


14

Semin



16



-



13



4


15

Ngawen



17



2



7



3


16

Gedangsari



14



-



7



2


17

Saptosari



10



-



8



2


18

Girisubo



14



-



10



2



Purwosari



9



-



2



-



272



4



180



30



486


Dari tabel di atas Panjenengan bisa menganalisa dengan mudah bahwa setelah kerja ‘nasionalisasi’ nama-nama wilayah di Gunungkidul berlangsung puluhan tahun, cukup banyak nama wilayah mengalami perubahan bentuk dalam penulisan nama dirinya. Paling tidak, perubahan bentuk yang terjadi berupa penulisan fonem /a/ menjadi /o/, /b/ menjadi /p/, /dh/ menjadi /d/, dan /th/ menjadi /t/. Gunungkidul terdiri dari 18

kapanewon/kecamatan, 144 kalurahan/desa, dan 1431 dusun/padukuhan dengan masing-masing nama yang melekat padanya. Jika semua nama wilayah kapanewon/kecamatan, kalurahan/desa, dan dusun/padukuhan saya gunggungke (jumlahkan), saya memeroleh 1593 nama. Persamaan nama wilayah saya abaikan, tidak saya kurangkan, misal nama kapanewon/kecamatan sama dengan nama kalurahan/desa atau dusun/padukuhan. Dari 1593 nama wilayah (kapanewon, kalurahan, dusun) di Gunungkidul, penulisan nama dirinya yang mengalami perubahan penulisan dari Bahasa Asal/Jawa ke Bahasa Nasional/Indonesia sejumlah 486. Jika diprosentasekan, dengan menghitung ambang batas kesalahan 1 %, kurang lebih 29%. Sementara itu nama-nama wilayah (kapanewon, kalurahan, dusun) di Gunungkidul yang mengalami perubahan penulisan: 1)  fonem /a/ menjadi /o/ sejumlah 272, sekitar 17%, 2) fonem /b/ menjadi /p/ sejumlah 4, sedikit sekali jika diprosentasekan, 3) fonem /dh/ menjadi /d/ sejumlah 180, sekitar 11%, 4) fonem /th/ menjadi /t/ sejumlah 30, sekitar 0,02%.

Apa arti hasil penjumlahan dan prosentase itu? Kemungkinan besar Panjenengan akan menjawab: bila nama-nama wilayah di Gunungkidul yang mengalami perubahan 50% dari konteks bahasa asal-usulnya itu (bahasa Jawa yang merujuk pada Aksara Jawa) dicari asal-usul maknanya maka tidak akan ditemukan karena penulisannya keliru. Bagi orang-orang yang memiliki pemahaman bahwa fonem /a/ di bahasa Jawa tergantikan oleh fonem /o/ dan fonem /dh/ di bahasa Jawa tergantikan fonem /d/ di bahasa Indonesia, seperti Panjenengan, mungkin tak akan mengalami masalah. Namun bagi orang lain yang tak memahami konteks ini terutama ‘orang-orang dari luar’ akan mengalami masalah. Yang dianggap memiliki nilai benar bagi orang lain itu adalah penulisan dengan tatacara bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa. Sementara Panjenengan barangkali akan menganggap keduanya benar.

Nasionalisasi Bahasa Daerah mengindikasikan bahwa bahasa-bahasa seNusantara, termasuk bahasa Jawa a la Gunungkidul, memiliki ciri identitas yang “harus ditransformasi” menjadi ciri identitas bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa Daerah ‘ditaklukkan’karena digolongkan sebagai liyan, bukan bahasanya wangsa/bangsa Indonesia, bukan sebagai bagian identitas diri Bangsa Indonesia seperti apa adanya. Kata-kata di bahasa Sansekerta, yang kemudian menurun di Jawa Kuna, lantas menurun lagi di bahasa Jawa Baru, ‘dipaksa’ digolongkan sebagai sesuatu yang baru lagi. Penutur bahasa daerah merasa bahwa bahasa daerahnya adalah bahasa liyan. Panjenengan bisa mengambil contoh, misalnya kata dalam bahasa Jawa: mata-ari (matahari), matanya hari; gapura (pintu masuk pura/rumah/kampung/kota/kraton); desa (desa); wangsa (bangsa); purwa (purba); dan kosa-kata bahasa Jawa lain yang telah ‘diserap’ oleh bahasa Indonesia seakan-akan adalah kosa-kata bahasa Indonesia bukan kosa kata milik bahasa Jawa. Masyarakat umum dan ‘pemerintah’ tak menyadarinya.

Program penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar oleh ‘pemerintah’ belum mempertimbangkan bahasa Daerah yang baik dan benar. Bahasa Daerah memiliki bagian tubuhnya sendiri. Baik dan benar di konteks bahasa Indonesia seyogyanya sejajar dengan “pener” dan “bener” di bahasa Jawa. “Bener” berhubungan dengan paramasastra; “pener” berhubungan dengan konteks kebahasaan, termasuk kondisi-kondisi di ‘luar’ bahasa.

Bahasa terkoneksi dengan kondisi ‘di luar’ kebahasaan, dengan lingkungan hidup penuturnya. Asal-usul bahasa adalah asal-usul ilmu pengetahuan tentang “jagad” dan bagaimana menjadinya. Etimologi mencoba menelusuri hal-hal ini, menelusuri hal-hal yang diasumsikan sebagai akar, “oyod”, atau “wod”. Parasastra Jawa menguraikan bahwa pembentukan “lingga” (kata-dasar) dan “andhahan” (kata-turunan/kata-jadian) berasal dari sebuah inti-bahasa yang disebut “wod”. “Wod” adalah suara satu ucapan “sawanda” (satu suku kata) yang sesungguhnya telah bermakna. /Ha/ /na/ /ca/ /ra/ /ka/, /da/ /ta/ /sa/ /wa/ /la/, /pa/ /dha/ /ja/ /ya/ /nya/, dan /ma/ /ga/ /ba/ /tha/ /nga/. Jika diurutkan seperti ini: “wod” > “lingga” > “andhahan”: “wuwuhan”, “rangkep”, “camboran”, “saroja”, dan sebagainya. Gerak penelusuran ke “wod” terbalik. Penelusuran ke akar bahasa dilakukan oleh masyarakat penutur agar memeroleh kondisi “bener” dan “pener”, “leres” dan “laras” dengan dasar ilmu pengetahuannya, sehingga hasilnya dapat berguna bagi kemajuan dan kemelekan masyarakat penuturnya, bahkan memahami diri dan ilmu pengetahuannya sendiri pada suatu rentang ruang-waktu.

Laku pencarian ke dasar ilmu pengetahuan dicontohkan oleh penokohan Remeng Mangunjaya di cerita Panji (Kalurahan Bejiharjo [Bejiharja] Karangmojo [Karangmaja] Gunungkidul). Sebuah sayembara menyaratkan peserta agar mampu meniti wod-kayu-penjalin. Remeng Mangunjaya pun mencoba meniti “wod kayu penjalin” dalam rangka bersatu dengan pasangan abadinya: Dewi Sekartaji/Sekarjati. Remeng Mangunjaya “badhar” menjadi Panji pasca membeber makna “wod kayu penjalin” dan cinta sebesar “kuku-ireng” di hadapan Dewi Sekartaji/Sekarjati. “Wod kayu penjalin” merupakan akar pohon kehidupan yang lentur dan kuat. Cinta sebesar “kuku-ireng” merupakan perlambangan pencarian ilmu pengetahuan yang tak akan habis.

Mengapa nasionalitas bangsa Indonesia memutus atau menghilangkan dasar-dasar ilmu pengetahuan bangsa yang sering digolongkan ‘daerah’ atau ‘lokal’?

Apakah penulisan nama-nama wilayah di tingkat ‘lokal’ seperti di Gunungkidul yang berbahasa lokal (Jawa) harus selalu dengan mengubahnya, menggantinya, mengadaptasinya dengan tatacara nasional? Apakah laku nasionalisasi harus menenggelamkan bahasa nation (bangsa) lokal? Apakah memalukan dan merendahkan bagi ‘bahasa nasional’ bila ‘bahasa lokal’ dipindahkan begitu saja secara natural manjing ajur-ajer mewakili ‘bahasa nasional’? Menjadi khasanah dan kekayaannya? Duduk bersama-sama dengan bahasa-bahasa lokal lain di teras global?

Silakan Panjenengan setuju atau tidak pada orang-orang yang lebih nasionalis (keIndonesia-indonesiaan) karena menuliskan nama pusat pemerintahan Kabupaten Gunungkidul dengan {Wonosari} bukan {Wanasari}, atau pada orang-orang yang kemenggris (keInggris-inggrisan) karena menuliskan nama {The Wonosari} atau {Made in Wonosari}! Mereka yang memilih nasionalis dan kemenggris tak mengapa, tetap keren, toh mereka menyadari bahwa kita semua di ‘aras lokal’ harus nut kelakoning jaman, menyelaraskan diri pada yang nasional, sementara yang nasional sesungguhnya bersifat lokal berhadapan dengan yang global. Pun jika orang-orang yang nasionalis dan kemenggris itu menghendaki merevisinya dengan ‘tatacara lokal’, yakni menuliskan {The Wonosari} dengan {The Wanasari} maupun {Made in Wonosari} dengan {Made in Wanasari}, akan terasa lebih pener, dan laras.

Yang lokal, yang nasional, yang global menyatu, dan padu.

Jika telah demikian, kala kita mau mencari asal-usul atau mulabuka nama-nama wilayah di sekitar tempat tinggal kita, bahkan nama-nama diri kita sendiri, dalam rangka mengonstruksi ‘identitas yang mendekati sesungguhnya’, mungkin kita tak akan jauh terbelok, atau terperosok. Paling tidak ulang-alik berfikir kita gumathok.

Menurut Panjenengan?

Parinem

Seorang yang menyukai kebudayaan tani namun tak bisa melakoni.

Oleh: Parinem

Parinem
Seorang yang menyukai kebudayaan tani namun tak bisa melakoni.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *