Legenda Ki Nagasari di Dusun Saya, Kandri Girisuba
Kompleks Wreksan Nagasari Kandri Girisuba

Legenda Ki Nagasari di Dusun Saya, Kandri Girisuba

Bagikan ke :
Menengok Samudera dari Celah Batu Karang Tebing Ngungap

Ada sebuah legenda yang berhubungan dengan kompleks pohon wreksan dan berkembang di dusun tempat tinggal saya, yaitu di Dusun Kandri. Namanya Wreksan Nagasari. Masyarakat di dusun saya meyakini bahwa kompleks Wreksan Nagasari merupakan peninggalan leluhur kami dan menyimpan sebuah cerita asal-usul. Nagasari adalah nama salah satu jenis tumbuhan. Meskipun jenis tumbuhan yang dominan di kompleks Wreksan Nagasari bukanlah pohon Nagasari melainkan pohon Klumpit. Selain pohon Klumpit, di dalam kompleks terdapat pohon Gadhog (Ingas Asu), Sembir, Wunut, Aren, dan Kandri (nama diri dusun saya). Menurut cerita tutur, nama kompleks Wreksan Nagasari tidak diambil dari nama tumbuhan yang ada di tempat itu, pohon Nagasari, melainkan merujuk pada nama cikal-bakal dusun kami, yaitu Ki Nagasari. Cerita legendaris Ki Nagasari menjadi cerita tutur yang diyakini oleh masyarakat kami, meskipun kami juga tidak bisa memastikan legenda ini benar-benar terjadi pada masa lampau atau tidak.

 

Salah Satu Sudut Pandang dari Tebing Ngungap

Masyarakat di dusun tempat tinggal saya memercayai bahwa Ki Nagasari merupakan pundhen atau leluhur yang arwahnya bersemayam di kompleks Wreksan Nagasari. Kasmudi  (salah satu sesepuh Dusun Kandri; beralamat di Kandri Pucung Girisuba Gunungkudul DIY; berdasar wawancara pribadi saya dengan beliau pada tanggal 26 Februari 2024) menuturkan cerita legendaris yang mengisahkan Ki Nagasari atau Mbah Nagasari, seorang jaka lelana yang hidup semasa dengan para Wali. Ki Nagasari melakukan pengembaraan ke daerah pesisir selatan Gunungkidul (wilayah Girisuba kini) bersama dengan sahabat seperguruannya yaitu Ki Banagung dan Ki Jaka Sura. Sesampainya di daerah pesisir selatan ketiga tokoh ini mencari dan menempati tempat persinggahan yang mereka pilih untuk melakukan meditasi atau bertapa.

Ki Nagasari memilih tempat meditasi di sebuah lokasi yang kini bernama kompleks Wreksan Nagasari di Alas Nagasari; Ki Banagung bertempat di suatu daerah yang kini menjadi Dusun Banagung; Ki Jaka Sura singgah dan  menempati sebuah gunung yang terletak di Alas Njenu. Suatu ketika ada sebuah sayembara dari Kraton (tak ada keterangan kraton mana) yang mengabarkan bahwa burung perkutut putih milik Sultan telah terlepas dan terbang menuju ke suatu daerah di Pesisir Selatan. Mendengar sayembara tersebut Ki Nagasari dan Ki  Banagung ingin mengikutinya, kemudian mengejar perkutut putih itu sampai ke Pesisir Selatan. Di Pesisir Selatan, ternyata perkutut putih itu berada di dalam sebuah goa yang terletak di tebing Laut Selatan. Sesampainya di atas mulut goa yang berada di tebing Laut Selatan, Ki Nagasari dan Ki Banagung memastikan tempatnya bahwa benar terdapat goa tebing karang, dengan cara menengok ke tebing yang curam. Dalam bahasa Jawa aksi ini disebut ngungap atau ngungak (ngungap atau ngungak dalam Bausastra Jawa berarti “meniti periksa; melihati terlebih dulu sebelumnya). Oleh karena itu, lokasi Ki Nagasari dan Ki Banagung melakukan ngungap atau ngungak diberi nama Tebing Ngungap.

 

Tebing Sudukan

Mereka berdua sama-sama mengetahui bahwa Perkutut Putih berada dalam goa. Untuk menentukan siapa yang berhak menangkap Perkutut Putih, antara Ki Nagasari dan Ki Banagung kemudian membuat sebuah sayembara baru. Sayembara berisi tentang siapa di antara mereka berdua yang bisa menebak dengan benar ke mana arah mulut goa menghadap maka dialah yang berhak menjadi pemenang. Ki Banagung menebak bahwa mulut goa menghadap ke arah barat daya. Mengetahui jawaban Ki Banagung benar, Ki Nagasari (yang diceritakan oleh legenda memiliki kesaktian) akhirnya meruntuhkan mulut goa sehingga merubah posisi mulut goa menjadi menghadap ke arah tenggara. Mengetahui bahwa Ki Nagasari melakukan kecurangan, maka Ki Banagung yang tidak terima memicu pertarungan antar keduanya. Peristiwa saling tikam terjadi di sebuah tempat yang berada di sebelah goa yang kini diberi nama Tebing Sudukan (suduk dalam Bausastra Jawa berarti “coblos; tikam”). Karena menjadi saksi peristiwa tikam-menikam atau saling menikam, maka tempat itu diberi nama sudukan.

Ki Banagung nyuduk (menikam) Ki Nagasari dengan keris, kemudian membuang mayatnya ke laut. Ki Banagung pulang menemui janda Ki Nagasari. Alangkah terkejutnya Ki Banagung, ternyata Ki Nagasari yang mayatnya telah ia-buang ke laut telah berada di rumahnya dalam kondisi sehat. Lalu mereka berdua kembali ke Tebing Sudukan. Kali ini Ki Banagung yang tewas. Mayatnya dibuang ke laut oleh Ki Nagasari. Ki Nagasari pulang menemui janda Ki Banagung. Alangkah terkejutnya Ki Nagasari karena Ki Banagung berada di rumahnya sendiri dalam kondisi yang sehat pula. Peristiwa perselisihan dan saling tikam kembali terjadi, diceritakan bahwa Ki Nagasari dan Ki Banagung kembali mengulangi peristiwa itu,saling bergantian, begitu seterusnya.

Legenda dusun saya di atas merupakan salah satu bukti bahwa cerita tutur memiliki peran penting karena menyangkut peristiwa-peristiwa kemenjadian suatu tempat yang saya sering datang ke sana, juga kisah leluhur dusun saya. Saya jadi tahu asal-usul ‘sejarahnya’. Saya merasa bahagia.

 

Rochmat Basuki

Pegiat sablon cukil; suka memulung bibit pohon

Oleh: Rochmat Basuki

Rochmat Basuki
pegiat sablon cukil; suka memulung bibit pohon

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *