“Bebrayan Agung”, Sebuah Catatan Dekoloni Sederhana tentang Tempat Tinggal

“Bebrayan Agung”, Sebuah Catatan Dekoloni Sederhana tentang Tempat Tinggal

Bagikan ke :

Judul buku: Bebrayan Agung: Upacara Nyadran Kulawangsa Gunungkidul
Penulis: C. Agus Mantara, dkk
Penerbit: Balai Pelestarian Warisan dan Nilai Budaya Dinas Kebudayaan Gunungkidul
Tahun Terbit: 2019
Jumlah Halaman: viii+185s halaman

 

“Tempat lahir telah menyediakan beragam kebutuhan bagi hidup manusia. Ia (alam tempat lahir) merupa-rupa, menjelma udara, air, tanah, dan api. Memberi hidup, tanpa ditopang mereka, manusia bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Begitu”

 

Terkadang, pengetahuan lokal dianggap sebelah mata oleh beberapa orang. Saya kerap mendengar kalimat di tongkrongan, warung kopi, dan beberapa forum diskusi: “Itu tak ilmiah, kurang memenuhi syarat sejarah. Itu ‘hanya’ tutur, lisan, foklor, dan halusinasi saja. Sebatas dongeng”. “Itu” yang dimaksud adalah pengetahuan lokal.

Meski cerita masa lalu “hanya” berwujud tutur, hal itu tak dapat dipandang sebelah mata. Apa yang dianggap “hanya” tutur, lisan, foklor, dan mitos dapat menjelma suatu budaya, kepercayaan, adat, dan tradisi. Bahkan, mengandung sanepan (makna tersirat) mendasar dan radix (akar) bermacam bentuk. 

Serupa atas itu, cerita rakyat, kepercayaan, tutur, dan mitos perlu diingat dan dicatat. Sedangkan ingatan perlu dirawat, dibiasakan, dan dilatih. Menafsirkan ulang sesuai dengan konteks zaman adalah salah satu upaya untuk mendokumentasikan tutur lokal. Hasilnya berupa-rupa bentuk: film dokumenter, teater, pameran, buku, dan masih banyak lagi.

sumber: geknjo

Bebrayan Agung: Upacara Nyadran Kulawangsa Gunungkidul, adalah tajuk salah satu buku yang mendokumentasikan ihwal tradisi tutur di Kabupaten Gunungkidul. Buku ini berisi dokumentasi Upacara Sadranan di Kabupaten Gunungkidul. Salah satu upacara yang dilakukan ketika rasul (bersih dusun/desa). 

Dokumentasi kekayaan budaya di Gunungkidul bertambah lengkap dengan adanya buku ini. Bebrayan Agung memuat prosesi Upacara Sadranan tiga desa: Desa Petir, Kecamatan Rongkop; Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu; dan Desa Pundungsari, Kecamatan Semin.

Masyarakat Kabupaten Gunungkidul melakukan Upacara Sadranan karena terikat kuat dengan sejarah asal usul, budaya tani, dan kondisi lingkungan alam sekitar. Segala unsur yang terlibat dalam upacara itu saling terkait dan tak dapat dipisahkan: manusia, hewan, dan tubuhan.

Upacara Sadranan hingga kini masih dilaksanakan oleh ketiga desa tersebut. Hal itu menjadi gambaran tentang pandangan dan kondisi batin masyarat Kabupaten Gunungkidul. Mereka menganggap upacara sebagai gegebengan (pegangan) guna menggapai keselamatan, kerukunan, dan keselarasan hidup. 

Tradisi tutur selaras dengan upacara adat, dan searah dengan apa yang dikatakan oleh Kahono, Juru Kunci Petilasan Gedong Pulungsari:

“Nyadran menika sambet kalihan siti lan toya. Najan ta barang sepele, uneg-uneg para kawula tani dipunudharaken rikala nyadran. Siti lan toya menika ugi barang gesang. Siti menika raosipun dospundi, sumber toya menika dospundi. Jatosipun nyadran menika sambet kalihan tata cara ngrumat lan ngabekti siti lan toya kala wau.”

(Upacara Nyadran berkaitan dengan tanah dan air. Meski tampak sepele, keluh kesah para petani disampaikan ketika nyadran. Tanah dan air juga makhluk hidup. Tanah keadaannya bagaimana, sumber air keadaannya bagaimana. Sejatinya, nyadran berkaitan dengan tata cara merawat dan berbakti pada tanah dan air.)

sumber: geknjo

Buku ini dilengkapi dengan gambar-gambar dokumentasi Upacara Nyadran dan narasi singkat. Tiap-tiap wilayah di Gunungkidul memiliki irisan nyadran yang nyaris sama antara satu dan lain wilayahnya.  

Seperti apa yang disampaikan oleh Ki Noto Sukamto, ia berpendapat bahwa Sadranan Mbah Jobeh seperti kaulan (kurban), atau memenuhi nadar (janji): nadar diucapkan sembari meminta doa dari titah kang nora katon (yaitu Kyai-Nyai Jobeh) karena orang yang bersangkutan luwar saka ujar ala (terbebas dari hal-hal buruk). Nyadran adalah tindakan nglunasi ujar (melunasi hutang kata-kata).  

Pengetahuan lokal dirawat melalui ikatan tutur turun-temurun. Tutur menjadi kepercayaan-kepercayaan lokal, adat istiadat, dan upacara. Legenda, dongeng, serta mitos kerap kelindan satu sama lain. 

Klasifikasi jenis-jenis cerita rakyat macam legenda, dongeng, dan mitos dalam tradisi lisan masyarakat dapat mempermudah orang memahami asal-usul, sejarah, dan mulabuka di suatu wilayah. Dapat dibayangkan jika tak ada cerita tutur yang membayangi suatu wilayah, identitas suatu wilayah akan ripuh.  

Dalam upacara periodik sadranan, terdapat ekspresi religius yang berhubungan dengan keselarasan dan harmonisasi. Semacam upacara yang telah menjadi tradisi masyarakat dan dikaitkan dengan hubungan yang selaras antara manusia, alam, dan Tuhan. 

Masyarakat lokal memiliki hak atas kebebasan menafsirkan narasi turun-temurun tersebut. Dekolonisasi pengetahuan lokal berjumpa titiknya. Melalui buku ini, pengetahuan lisan ditulis, disebarluaskan, terdistribusi dengan baik. 

Pengarsipan dilakukan. Serupa purwa wacana dalam mulabuka buku: manusia tak limbung atas hal-hal yang ada di dekatnya. Tak mudah didikte orang lain. Mereka memiliki kebanggan atas tanah airnya. Siapapun mereka, di manapun mereka berada. 

sumber: geknjo

Berdasar buku Bebrayan Agung ini, pembaca diajak menelusuri simbol-simbol yang tersaji dalam upacara adat.  Makna dari lelaku yang telah berlangsung turun-temurun mencoba diterka oleh penulis. 

Rasa terimakasih pada partikel alam menjadi kewajiban. Alam memberi banyak hal untuk keberlangsungan manusia. Misal, tanah batu-karang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan tanaman pangan. Batu dan kayu disusun menjadi bangunan rumah. Pepohonan, telaga, sumur, lahan pertanian, wajib dijaga kelestariannya. Alam adalah rumah manusia. 

Istilah “Ekologi” bermula dari “oikos”, artinya “rumah”. Usaha manusia untuk memakhlukkan dan menyesuaikan alam dengan kebutuhan manusia berolah tani dan membangun rumah disebut dengan “membudaya”. Melalui manusia alam, manusia memanusiakan dirinya sendiri. Dalam kasus itu, bisa disebut bahwa proses itu sebagai proses humanisasi. 

sumber: geknjo

Dalam Upacara Nyadran, humanisasi tampak dalam sesajian: kucuran darah kurban, misalnya. Hewan peliharaan seperti ayam, kambing, sapi, diyakini dapat menghubungkan ikatan batin ini. Darah, semacam penghubung yang dramatis antara kehidupan dan kematian, antara dunia orang hidup dan dunia orang mati. Simbol darah berkaitan dengan simbol bebanten (kurban). 

Bebrayan Agung: Upacara Nyadran Kulawangsa Gunungkidul layak untuk dipelajari. Semacam cuplikan arsip budaya di Gunungkidul yang tersaji dalam bentuk buku. Setidaknya, buku ini menjadi tawaran bagi para-para bahwa pengetahuan lokal perlu dirawat dan diingat. Bahkan, diunggahke dan diungguhke sebagai foklor minor yang penting. Tafsir mini, upaya dekoloni oleh masyarakat yang dekat dan berjalan di dalamnya. Tak melulu ihwal hal-hal mayor. Begitu.

Penulis: Sintas Mahardika
Editor: Bagong Gugat

Sintas Mahardika
Salah satu warga Gunungkidul. Hobi jalan kaki, arsiparis jalanan, dan suka foto.
Oleh: Sintas Mahardika

Sintas Mahardika
Salahsatu warga Gunungkidul. Hobi jalan kaki, arsiparis jalanan, dan suka foto.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *