Berbondong untuk Jagong, Ekonomi Pikir Keri!

Berbondong untuk Jagong, Ekonomi Pikir Keri!

Bagikan ke :

 “Angger usum sumbangan, kok ya dilawuhi uyah?”
(Tiap musim kondangan, kok ya makan lauknya garam?)

-Yanto, salah satu tokoh dalam Film “Njagong”

Lanskap pedesaan dibumbui suara knalpot motor Honda grand melengkapi perjalanan lelaki pengantar ulem. Ia membawa secarik kertas undangan pernikahan. Di tengah misi pengantaran pawarta (berita) bahagia, ia tersesat. Di area jalan cor blok, pemuda itu berhenti.
Tepat di lokasi ia berhenti, berdiri seorang anak perempuan. Ia kemudian bertanya kepada si anak perempuan itu, “Dik, omahe yanto ngendi yo?”, si anak kecil itu tampak kebingungan. Ia menjawab pertanyaan pemuda ulem lewat sebuah pertanyaan lanjutan, “Yanto sinten nggih om?”

Pertanyaan mencari rumah Yanto menjadi scene awal film Njagong. Film yang merepresentasi dunia sosial ekonomi masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan beberapa wilayah lainnya. Dalam makna bahasa Indonesia “Njagong” berarti duduk, kondangan, mendatangi suatu hajatan, utang budi, dan seterusnya.



Walau bergenre satire,
Njagong menjadi teropong atas potret kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Gunungkidul. Film yang diproduksi oleh Sanggar Ori bekerja sama dengan Dinas Kebudayan Gunungkidul ini menceritakan tentang kehidupan “budaya” dan “ekonomi” pedesaan. Film ini pertama kali ditayangkan di Auditorium Taman Budaya Gunungkidul pada Desember 2023. Film pendek berdurasi 15. 57 menit ini dibintangi oleh beberapa talenta lokal Gunungkidul.

Biasanya, talenta-talenta lokal di Gunungkidul terbiasa bermain peran. Sebab, di beberapa desa masih melestarikan kesenaian kethoprak. Ketika beralih wahana dari kethoprak ke pemeran film, beberapa seniman tak begitu kesulitan untuk menyesuaikan.



Masuk dalam alur
Njagong, budaya kondangan menjadi hal yang lumrah bagi warga Gunungkidul. Semacam utang bantuan baik materiel atau non-materiel. Disisi lain, kondangan menjadi pengikat antar manusia dalam skup bermasyarakat. Antara “di”bantu dan “me”bantu.

Film Njagong mengambil core perspektif sosiologi dan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Barangkali, bagi masyarakat menengah ke atas, kondangan menjadi panggung hingar-bingar. Sukaria dan menyenangkan. Tapi, di balik hingar-bingar tersebut, ada sisi remang-remang yang juga pantas untuk dicermati.

Other side kondangan menyangkut ekonomi. Jika dikaitkan dengan kemauan untuk datang ke hajatan, mayoritas warga mau untuk melakukan. Tapi, jika dikaitkan dengan kemampuan warga nyumbang (memberi materi), belum tentu mereka mampu. Pembicaraan tentang isu njagong lumayan hits dalam bulan-bulan tertentu.

Dari segi cerita, tema menyangkut budaya macam ini banyak disukai. Terhitung, dalam kurun waktu tulisan ini terbit cum setahun film rilis, penonton di kanal youtube Sanggar Ori mencapai 380.000. Tema semacam ini bukanlah sesuatu yang baru, ada jibunan film menyoal budaya khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mengingat festival film di masing-masing kabupaten rutin dilakukan. Lain hal, ada plot dana kebudayaan dan dana keistimewaan yang menyokong terciptanya rumah-rumah produksi lokal. Ihwal visual, akting pemain, blocking tak ada yang mengecewakan. Termasuk pula latar take film, selaras dengan kehidupan sehari-hari kulawarga Gunungkidul. Plot cerita juga tak rumit-rumit amat dan penonton mudah untuk memahami maksud dan pesan yang disampaikan.

Cerita Njagong bergulir, membahas peliknya siasat kondangan dalam blantika masyarakat desa. Ekspetasi atas budaya, moral, adat dan tradisi “terpaksa” berbenturan dengan realita (ekonomi). Hal itu terjelaskan dalam sinopsis akun Sanggar Ori.

Pasangan suami-istri, Yanto (38) dan Harsini (33), mendapat surat undangan dari sahabat dekatnya, Muryani (34), yang hendak melangsungkan pesta hajatan. Masalah muncul ketika pasangan tersebut tidak memiliki uang yang cukup untuk mengisi amplop kondangan. Banyaknya pesta hajatan yang digelar secara serentak di wilayahnya, membuat kondisi ekonomi Yanto makin terpuruk.”

Mengatur siasat bertahan hidup, observasi posisi diri di tengah masyarakat. Menakar akal sehat, mengatur yang terbaik atas hal-hal yang dapat dilakukan ketika ulem tiba: antara hendak bahagia atawa nestapa sebab benturan realita. Tercekik ekonomi dan berbuah ironi. Begitu.

 

Sintas Mahardika
Salah satu warga Gunungkidul. Hobi jalan kaki, arsiparis jalanan, dan suka foto.
Oleh: Sintas Mahardika

Sintas Mahardika
Salahsatu warga Gunungkidul. Hobi jalan kaki, arsiparis jalanan, dan suka foto.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *